Bruk…brak…bruk…bunyi genteng berjatuhan, satu persatu atap kosan terlucuti, debu mengepul sesaki kamar tengah. Bagian depan kosan sudah benar-benar melompong atapnya dan lantai kotor berserak pecahan genteng.
Saya terkaget bangun, tengok kanan-kiri tak seorang kawan pun ada, samar-samar saya mendengar suara kerumunan di luar kosan, dan tanpa pikir panjang saya langsung lari ke luar. Dalam kondisi sadar yang belum purna, saya menerka-nerka apa yang terjadi sampai kosan serusak itu.
Untung saya gak ketimpa genteng, pingsan, dan masuk UGD,” pikir saya liar seketika. “Hah, kamu masih dalam kosan?” Bapak kos nampak kaget.
Saya pikir sudah ke kampus, jadi saya suruh tukang bongkar kosan karena mau digabung dengan rumah saya. Direnovasi. Saya sudah sediain kosan baru. Maaf mendadak,” jelasnya.
Astaga Pak, untung saya gak ketimpa genteng,” balas saya singkat. Dongkol.
Saya langsung minta turun harga, sebab pembongkaran dadakan itu nyaris membahayakan saya. Negosiasi berjalan alot, bapak kos bersedia kasih kosan satu petak seharga Rp 450 ribu, padahal kosan sebelumnya tiga petak, harga Rp 600 ribu. Saya sekukuh menawar Rp 350 ribu perbulan. Nihil, patok harga tak bisa dicabut, tetap 45′.
Saya pindah kostan Pak, saya minta tiga hari cari kosan baru, sementara saya di sini dulu,” tegas saya.
Oh, silakan,” jawabnya sambil lanjut mandor pembongkaran kosan.
Saya putuskan untuk tidak ngekos lagi di sana. Sembilan bulan sudah cukup. Kapok, pikir saya. Sedikit keluar dari radius kelurahan Semanggi, Ciputat, saya dapat kosan bagus di bilangan Legoso Timur, Ciputat juga. Saya jatuh hati pada pandangan pertama dengan kosan ini, seperti rumah minimalis, fasilitas ruang tamu, dua kamar tidur, satu ruang dapur, dan kamar mandi. Lebih istimewanya lagi, harganya persis Rp 600 ribu.
Alhamdulillah, kalau susah begini ada aja balasan baiknya,” syukur saya.
Deal, kwitansi pembayaran sudah di tangan. Dibantu teman-teman, akhirnya pindah dan ngekost bertiga. Saya sekamar sendiri. Hari pertama dilewati tanpa keganjilan apapun, bahkan nyaris sempurna menikmati kepindahan ini. Hari kedua, kemeja putih milik Robi nampak menguning, sisa-sia zat besi dari air sumur bor mengubah warnanya. Lantai dasar bak pun penuh endapan zat besi. Fatalnya, masak nasi di magic jar pun menguning karena pakai air keran dapur.
Aahhhh, kemeja baru gw jadi kuning, nasi bau besi, batal sarapan. Nasib…thank you,” ketus Robi pagi itu. Alhasil, kami ngelaundry semua pakaian kotor, tak mau ambil risiko lagi.
Kami langsung bergegas kuliah. Tak apalah satu baju yang rusak. Masih bisa dibeli besok tapi tidak dengan kosan yang murah ini. Maklum, mahasiswa doyannya kosan murah meriah, begitu alasan kami supaya tetap betah di kosan. Tapi, lebat guyuran hujan hari itu buat semuanya berubah. Saat pulang kuliah, kami harus menerjang banjir sekitar 35 sentimeter yang menutupi badan jalan di gang kosan, hampir selutut, dan kosan nyaris tergenangi.
“Yassalaaam…pindah, pindah, pindah. Ini musim hujan, bisa berbulan-bulan nasibnya begini terus,” celoteh Dani. Saya bergeming, tanpa sepatah kata membalas, langsung masuk kosan.
Jelang magrib, tampak warga di seberang kosan bersih-bersih sisa banjir di teras rumahnya. Kami pun sama, sibuk ngepel dan kuras bak mandi. Hampir sebulan berlalu, nasib masih sama. Sepakat, kami resmi pindah. Satu tahun 2006 yang berkesan, jauh dari Ambon datang jadi anak rantau pertama kali di Ciputat, Tangerang, disuguhi banjir dan aksi bongkar kosan dadakan. Benar kata kawan saya Robi, nasib.
Di awal Februari 2007 saat Jakarta darurat banjir sana-sini, lagi-lagi Ciputat pun senasib. Tak terkecuali anak kosan seperti saya.
Kring…kring, Han…Shulhan…Han, kosan banjir, lemari ngambang, komputer kelelep. Kasur, buku, juga rusak,” lapor Robi lewat telepon. 
Dug, saya mendadak lemas, khawatir dokumen penting di lemari rusak.
“Ok, meluncur ke TKP,” jawab saya singkat.
Tiba di kosan, saya langsung cari ijazah, buku tabungan dll dalam lemari yang sebelumnya memang sudah dibungkus kantung plastik anti air dan dimasukkan dalam map dokumen sewaktu disimpan di lemari dulu. Syukur, dokumen selamat tapi yang lain ludes.  keesokannya langsung pindah kosan lagi. Kali ini, pertimbangan utama adalah lokasi bebas banjir.
Saya migrasi dari Kertamukti, Ciputat ke Kampung Utan bagian selatan komplek UIN Jakarta. Saya tempati kosan dua petak, satu kamar mandi, dan letaknya terhimpit antara gedung sekolah dan masjid. Hampir 6 bulan saya tak sempat bersapa dengan matahari pagi, letak kosan ini terlalu dalam ke jantung gang komplek yang berhimpit-himpit rumah. Akhirnya, pindah juga. Tak tahan terisolasi terlalu lama bak sedang berkontemplasi saja di kosan itu.
Bu, saya pamit,” sambil salami Ibu Kos.
Iya, kalu sempat main lagi ke sini,” ucapnya.
Akhirnya, saya merapat lagi ke Semanggi, Ciputat. Ya, masih tetap di Ciputat sebab kota ini seperti medan magnet semua aktivitas saya dan kawan-kawan, kuliah dan kerja. Puji Tuhan, kami dapat kosan Rp 700 ribu perbulan, tanpa pisah biaya listrik lagi, air bersih, tiga petak, dapur, satu kamar mandi, dan teras cukup luas untuk parkir motor. Sampah kosan pun diangkut petugas kebersihan setempat. Ditawari kasur gratis, lemari gratis, dan tentu kenal anak Ibu kos yang cantik lagi baik hati. Saya panggil dia Bu Presdir, sebab selain getol ingatkan bayar kosan, dia juga membolehkan telat bayar.
Tak lama dengan kesenangan itu, sebuah apartemen 18 lantai tengah di bangun tepat 5 meter di samping kosan. Hanya terpisah tembok tipis dan pagar kawat besi, ditambah debu coran bangunan hasil geber kerja 24 jam sehari, bising mesin beratnya, dan sinyal HP yang langsung SOS seperti kawasan bebas sinyal. Kini mencuat isu baru, pihak pengembang sedang negosiasi harga pembebasan lahan warga dan penggusuran. Duh, apa iya harus pindah lagi? Nasiiib.