Setir bus Koantasbima 102 (Ciputat-Tenabang) yang yang tak layak guna (foto: dokumen pribadi)
-------------------------

Sudah rahasia umum, sengkarut moda transportasi umum di Jakarta selalu jadi perbincangan hangat di ruang publik. Persoalan moda transportasi umum yang saban hari selalu kita jumpai, mulai dari minimnya jumlah moda angkutan operasional, moda transportasi yang sudah kolot dan tak layak jalan, stasiun dan halte pemberentian yang kurang layak, perilaku berkendara yang serampangan, hingga kebijakan penyelesaian yang tak kunjung temu titik terang, menjadi pusaran yang membelit aktivitas masyarakat.
Apa buktinya? mungkin sebagian dari kita, punya pengalaman tak sedap menyoal transportasi umum ini. Khususnya di Jakarta, saya punya pengalaman yang tak menyenangkan, tak memuaskan, saat menggunakan trasnportasi umum. Di sini, saya lebih khususkan lagi pengalamannya terkait pelayanan bus antarkota dan minibus sejenis Metromini, Kopaja dan Koantas Bima.
Sebagai pecinta moda transportasi umum, saya lebih sering bepergian dengan memanfaatkan layanan transportasi umum. Bus Transjakarta, misalnya. Bagi saya, selain Transjakarta punya jalur khusus, pelayanannya terbilang cukup baik, namun persoalannya ada pada perawatan bus yang mungkin kurang maksimal.
Pernah suatu hari minggu di tahun 2012, banyak masa berkeburutan di bundaran HI karena sibuk bantu memadamkan bus Transjakarta yang terbakar, sebisanya. Lain kejadian, saat menuju Taman Impian Jaya Ancol dari Halte Senen, bus Transjakarta yang saya tumpangi menabrak taksi dari arah berlawanan. Sopirnya ugal-ugalan, walhasil ringsek depan bus dan bagian depan taksi rusak parah. beruntung, tak ada korban luka-luka dan meninggal.
Tak hanya itu, besar ruang halte yang belum cukup menampung volume penumpang yang mengantri, melengkapi fenoma karut-marut manajerialnya. Halte Harmoni misalnya, hampir setiap hari, berdesakan penumpang di sana yang juga dihadapkan pada sikap ketus para petugas Transjakarta. Husnudhon saya, mungkin petugasnya kecapean, jadi ya sesekali jutek bin ketus. Dimaklum, deh.hehehe.

Ada lagi yang lebih mengkawatirkan plus memalukan. Minibus seperti Kopaja, Metromini, dan Koantas Bima, banyak yang tidak terawat namun dipaksakan beroperasi di jantung ibukota hingga mengitari pesisir Jakarta dengan tingkat polusi tinggi, dan perilaku supir yang kadang mengabaikan keselamatan penumpang. Buktinya sangat banyak, setidaknya berdasarkan kumulasi pengalaman saya sendiri.
Suatu hari di awal 2013, saya pulang kantor. Niat berhemat, saya urungkan naik taksi dan beralih ke Koantas Bima 102 dengan rute Tanah Abang- Ciputat. Di halte tikungan Hotel Mulia, saya dan beberapa orang menunggu Koantas Bima 102. Tak lama, kita berlarian berdesakan masuk minibus itu. Seketika, saya lega karena sudah di dalam bus, meskipun berdiri. Tapi saat menyadari suana dalam bus, saya jadi was-was, malah khawatir keselamatan diri dan penumpang lainnya lantaran supir ngebut sepanjang jalan Gelora-Senayan City.
Supir asyik teleponan sambil ngebut dan sesekali marah-marah sama cewek yang ada di ujung telepon, yang dibilangnya “sayang”. Logat batak yang kentara, volume bicara yang keras, makin mendramatisir suasana. Belum lagi ulah kernetnya yang gelantungan di sisi pintu sambil teriak-teriak “terus, terus, terus, kiri kosong, majuuu woooi, bablas piiir,yiiihaaaa…dll” (terkesan akrobatik banget, memang). Mirisnya, kernet itu seorang bocah. Saya taksir, dia masih diusia 10-12 tahun.
Nasib nahas tak sampai di situ. Di depan mall Pondok Indah, semua penumpang dimigrasikan ke bus lain yang jelas-jelas beda jurusan meski melintasi sebagian rute Koantas Bima 102 itu. Misalkan, penumpang dipindahkan ke Bus Metromini 72 jurusan terminal Lebak Bulus-Blok M, lintas rute pondok indah. Alhasil, penumpang yang ke Ciputat mesti naik angkot lagi, tentu nambah ongkos lagi. Bukan satu dua kali perilaku migrasi penumpang oleh para supir ini, tapi sepanjang enam tahun di Jakarta, saya sering mengalaminya. Jadi, ini seperti kebiasaan buruk yang termapankan.
Menyoal perawatan bus, saya punya cerita sendiri. Di bulan puasa 2012, saya harus tiba di kantor jam 5 sore. Saya putuskan naik Koantas Bima 102 dari Ciputat jam 3 sore, perkiraan bakal sampai jam 5 teng. Tapi, perkiraan saya meleset jauh. Saat bus melintas area Radio Dalam sembari ngebut, tiba-tiba bus oleng dan besi penyambung antara ban bagian kanan & kiri copot, baut besarnya pun patah, murnya lepas. Seketika supir rem mendadak dan semua penumpang panik berhamburan keluar. Untungnya, bus tidak terguling. Keesokannya, sepulang kantor jam 9 pagi, kejadian hampir serupa terjadi. Baut besar di ban Koantas Bima 102 lepas lagi, kejadiannya di tikungan Hotel Mulia. Anehnya, polisi di TKP tidak berbuat banyak, bahkan tidak memeriksa surat jalan supirnya.
Kualitas pelayanannya semakin memburuk saat kondisi dalam bus begitu semrawut dan kotor. Ada bagian dalam atas bus yang sudah copot, tapi direkatkan lagi dengan solasi. Punggung kursinya pun bolong, sebagian kursi sengaja dicopot supaya bisa menambah quota berdiri penumpang (otomatis, banyak pemasukan), kaca retak juga direkatkan dengan solasi, pintu bus yang sudah dol alias tak bisa dikunci lagi, kaca pintu pecah bahkan ada yang tanpa kaca pintu, kemudi bus yang sudah kelihatan tua, besi badan bus yang sudah karatan, dan kualitas mesin yang bisingnya “minta ampuuun”.

Perilaku berkendara juga jadi perhatian khusus. Tak hanya Koantas Bima 102 & 510, tapi Kopaja P20, Metromini 72 & 610, juga Bus 76 yang kesemuanya bermarkas di terminal Lebak Bulus dan Ciputat, kadang mengabaikan pelayanan dan keselamatan penumpang. Perilaku supir saat mengemudi jauh lebih buruk dari yang diharapkan. Ada yang nyupir sambil teleponan, ada yang sibuk godain penumpang (khususnya cewek-cewek cantik), eh tau-taunya nabrak dan bikin macet. Ada yang sambil merokok tanpa rasa bersalah karena sudah meracuni penumpang, ada yang ngebut gak ketulungan parahnya sampai menyisir trotoar, juga tidak menjaga jarak aman antarkendaraan di jalanan.
Terakhir, hal yang disorot dari pihak pengelola yaitu ketepatan waktu dan keamanan. Okelah, soal ketepatan waktu gak usah dibahas karena macet hampir di seluruh Jakarta. Tapi keamanan adalah faktor penting yang mesti bicicarakn solusinya. Saat di bus atau minibus, kadang pengamen masuk dengan kondisi memprihatinkan. Saya tidak menolak pengamen, tapi kalu mengamen sukarela tanpa memaksa untuk diberi, itu yang saya maklumi. Lain orang lain cara, saat generasi gepeng (gelandang, pengemis, pengamen) masuk bus, ada yang ala preman menyayat tubuh dengan silet supaya penumpang takut dan akhirnya memberi uang. Saya tidak menolelir mereka, sekalipun dipaksa.
Terlepas dari semua itu, kita tidak bisa serampangan menyalahkan pihak pengelola. Terkadang, perilaku penumpang juga yang memungkinkan pengelola merasa betah dengan buruknya sistem yang sudah termapankan di jalan. Misalkan, banyak penumpang hanya menurut pindah bus saat dimigrasikan. Padahal, kalaupun dilawan dan tidak ada yang mau turun pindah bus, mau tak mau bus akan lanjut lagi. Pada akhirnya, sebagai penumpang kita juga mesti kritis terhadap keadaan transportasi umum yang tersedia.