Membincangkan Jokowi,
memang tak ada habisnya. Selain posisinya sebagai Gubernur dan newsmaker, Jokowi juga seorang
tokoh politik transformatif yang kini sedang digandrungi masyarakat. Transparansi
pemerintahan dan kinerja efektif yang dilakukannya bersama Basuki Tjahja
Purnama atau Ahok, membuka harapan publik terkait penyelenggaraan pemerintahan
yang bersih dan pro rakyat. Inilah yang menjadikan dua sejoli DKI Jakarta ini
selalu dieluh-eluhkan.
Performa
impresif yang ditunjukkan Jokowi selama ini, membuat citra dirinya
terawat baik dan menuai dukungan publik. Tak jarang, publik yang semula kontra
Jokowi, kini berbalik menyanjung ketulusan kinerjanya. Jokowi disukai publik
karena dua hal: Pertama, kerja nyata. Kedua, taat konstitusi bukan taat
konstituent. Tak heran, di tengah eskalatifnya isu bursa capres 2014, nama
Jokowi sering digadang-gadang sebagai capres potensial.
Sebagai outsider atau orang yang
berada di luar lingkaran PDI-P dan Jokowi, saya mencoba membaca peluang
pencapresan Jokowi berdasarkan fakta dan data yang tersajikan baik lewat media
maupun sejumlah penelitian dan survei elektabilitas. Saat ini, PDI-P masih
bersikap kompromistik terhadap isu pencapresan Jokowi, sehingga peluang Jokowi
masih terbuka lebar, selain itu retorika bersayap Jokowi tentu menjadi penting
untuk disimak karena belum mencerminkan sikap Jokowi sesungguhnya atas isu
pencapresan dirinya, dan terakhir yaitu kehendak publik.
Kehendak
Publik
Sudah bukan rahasia,
banyak suara berseliweran menyoal masuknya Jokowi dalam bursa capres 2014, baik
melalui sejumlah simulasi pemilu atau survei elektabilitas maupun pembicaraan
para netizen di jagat virtual. Hal ini terbukti, di hampir semua survei elektabilitas,
Jokowi selalu unggul. Bahkan, saat Jokowi dipasangkan dengan calon lain pun,
pasangan Jokowi tetap diunggulkan.
Di sini, saya tidak
akan menyuguhkan data survei elektabilitas yang dilakukan sejumlah lembaga
survei sekarang ini, sebab bisa Anda temukan pada pemberitaan mainstream media atau online mainstream. Saya justru
akan menyuguhkan survei elektabilitas virtual yang dilakukan politicawave.com sebagai bukti bahwa
perbincangan bursa capres 2014 di sejumlah sosial media juga begitu masif, dan ndilalahnya Jokowi tampil
sebagai capres pilihan netizen.
Dari
data yang ditampilkan politicawave.com ini, terlihat share of awaranessJokowi berada di
posisi pertama dengan memperoleh 58,3% suara dari 15 ribu sampai 60 ribu total buzz. Di posisi kedua, muncul nama
Megawati dengan 13,9%. Sementara tokoh lainnya, jauh di bawah perolehan Jokowi
dan Megawati. Survei ini pun menampilkan elektabilitas para kandidat di bursa
capres 2014 yang lagi-lagi Jokowi unggul jauh. Dilihat dari media trend pun begitu, Jokowi
banyak dibincangkan publik twitter, ketimbang di facebook, blog atau forum.
Sekilas
survei ini menampilkan dikehendak publik akan sosok Jokowi pada bursa capres
2014 mendatang. Data yang diambil pada 9 september ini, tidak berubah
signifikan jika kita menengok hasil survei terbarunya. Meski begitu, sampai di
sini saja tidak cukup membuat Jokowi maju, masih ada faktor kedua dan ketiga.
Retorika
Bersayap
Bagaimana tanggapan
jokowi dengan masifnya keinginan publik akan dirinya untuk maju dalam bursa
capres? “Saya itu nggak mikir, Saya tuh fokus bekerja untuk Jakarta, sudah
pusing meloncat sana-sini. Kalau wilayah politik, masalah politik, tanyakan ke
DPP, tanyakan ke Ibu Mega,” jawab Jokowi saat diwawancara Metro TV.
Sekilas, jawaban
Jokowi nampak tak mempersoalkan apa yang tengah diisukan terkait dirinya, dan
tak mau ambil pusing memikirkan kehendak publik yang sudah memenangkannya dalam
beberapa survei elektabilitas. Boleh jadi, Jokowi memang tak menginginkan
posisi capres pada 2014 karena ingin fokus pada amanat rakyat Jakarta yang kini
diembannya.
Tapi, sebagai figur
politik, kita semua paham bahwa Jokowi bukan tokoh politik sembarangan. Semua
tindak-tanduknya selalu membuka kemungkinan-kemungkinan, termasuk jawabannya
pada awak media terkait bursa capres beberapa waktu lalu. Jokowi nampak
sadar betul bahwa politik adalah seni kemungkinan, karena itu dia sangat
berhati-hati memainkan retorika politiknya di hadapan media. Jawaban Jokowi
pada penggalan wawancara di atas jelas masih membuka ruang atas pencapresan
dirinya.
Simak pernyataan
Jokowi ini “Kalau wilayah politik, masalah politik, tanyakan ke DPP, tanyakan
ke Ibu Mega.” Pernyataan ini bisa kita sebut sebagai retorika bersayap, yang
membuak sejumlah kemungkinan politis. Kemungkinan pertama, Jokowi tak ingin
disebut sebagai tokoh politik yang doyan loncat jabatan, ambisius akan jabatan
tertentu, dan tak ingin membuat jawaban eksplisit atas wacana pencapresan
dirinya karena jawabannya berpotensi dipolitisasi lawan politik.
Jawaban retoris,
diplomatis, yang disuguhkan Jokowi memang sekilas menyiratkan apa adanya, namun
sebenarnya mengandung makna bersayap dan mulitafsir. Makanya, jangan heran,
banyak rival politik yang mati-matian meminta Jokowi fokus pada Jakarta dan
menyatakan secara eksplisit untuk tetap di tampuk DKI 1. Amin Rais yang
berulang kali melakukan propaganda verbalistik, itu sebagai bukti ketidakpuasan
atas sikap Jokowi yang masih 2 kaki, alias membuka peluang pencapresan dan
menjaga lajunya di rel DKI.
Jenis komunikasi
Jokowi bisa dibilang high context
culture. Dalam istilah William Gudykunts disebut juga high context communication.
Artinya, gaya komunikasi Jokowi lebih menekankan pada konteks nonverbal,
ketimbang pesan-pesan verbal secara eksplisit. Coba perhatikan gaya komunikasi
Ahok yang low context culture,
kebalikan dari Jokowi. Makanya, Ahok lebih banyak “mendamprat” secara
verbalistik yang bagi kultur warga Jakarta dianggap kurang santun, padahal
secara konteks memang arah pembicaraan Ahok sudah membungkus persoalan.
“Kalau jujur dan baik
kami kasih modal dan Anda bisa berubah nasib, asal mau berusaha. Tapi kalau
hidup Anda mau jual beli lahan milik pemerintah maka Anda bajingan. Pelanggaran
itu jelas bagi saya,” ujar Ahok di Balai Kota, Jakarta, Senin 13 Mei 2013.
Simak saja, pernyataan Ahok langsung menghujam uluhati juga logika berpikir
masyarakat agar taat pada konstitusi. Dalam kasus Lurah Susan di Lenteng Agung,
Jakarta misalkan, Ahok nyatakan bahwa kalau mau ganti “Lurah Susah ya ganti
juga saya karena saya bukan Islam. Kami taat konstitusi, bukan taat
constituent.” Pernyataan ini terang benderang pada persoalan. Sampai di sini,
saya berkesimpulan bahwa Jokowi tetap membuka peluang dirinya untuk dimasukkan
dalam bursa Capres PDI-P 2014 mendatang.
Restu
Partai
Tradisi PDI-P selama
ini selalu jadi oposisi di pemerintahan pasca masa presiden Megawati
Soekarnoputri , namun tahun ini peta politik dan kalkulasi politik PDI-P
bergeser. Melihat tren positif beberapa kadernya dalam dua tahun belakang,
tentu matematika politik partai pun mulai dihitung. Salah satunya, berhitung
akan peluang calon presiden 2014 yang akan diusung. Rakernas PDI-P pada 6-9
September kemarin, sudah memberi sinyal tersebut. Pencapresan bukan hanya
persoalan sosok yang bakal diusung namun momentum juga jadi pertimbangan penting,
terutama di masa Jokowi yang banyak menyumbang insentif elektoral pada PDI-P.
“Tahun depan adalah
waktunya PDI-P berhenti menjadi partai oposisi. Kenapa, karena kalau kita
lihat sekarang, survei buat Pilpres, ya dengan rendah hati kita katakan, Mas
Jokowi, Mbak Mega, surveinya sangat tinggi sekali. Sepanjang sejarah survei, baru
sekarang ada dua calon presiden yang dari satu partai tinggi sekali surveinya,”
uangkap politisi muda PDI-P Maruarar Sirait saat diwawancarai SCTV.
Tak hanya itu, sikap
megawati juga cenderung high context saat
dihadapkan pada fenomena Jokowi. Dalam beberapa kesempatan, Megawati melempar
sinyal restu pencapresan Jokowi dengan menyatakan tetap memperhatikan aspirasi
masyarakat arus bawah. Akankah restu diberikan pada ulang tahun PDI-P pada 10
Januari 2014 mendatang? Menarik kita tunggu.
Data pelengkap:
Posting Komentar