Derap langkah Waode terburu-buru. Ia merapat begitu cepat ke arahku, seperti
hendak memburu sesuatu yang teramat penting. Semakin dekat, kulihat tapak
kakinya yang tak beralas membongkar genangan air di atas trotoar tanpa peduli. Ia
terus memacu langkah tanpa menghiraukan ujung celananya yang basah terpercik.
Setibanya di area Gong Perdamaian Kota Ambon yang nampak membulat di tengah
kota itu, Waode mensejajari badanku. Gerak-geriknya terlihat seperti
sibuk memperhitungkan strategi yang bakal ia jalankan. Dua bola matanya secara
cepat berganti arah ke kiri dan kanan mengawasi keadaan sekitar.
Setelah nampak sempurna perhitungannya, Ia maju perhalahan, membawa tubuh
gempalnya menyeruak di antara kerumunan. "Permisi ibu, permisi
bapak..." ia memberi tanda agar manusia dalam kerumunan itu segera membuka
jalan. Terkadang ia meliuk-liuk dalam lautan manusia, lalu merunduk secepat
kilat menangkap buruannya. Gerakannya lincah, tangkapannya tepat, kadang
mengandalkan tangan kanan, kemudian berganti tangan kiri. Dalam 5 menit,
sekitar 50 gelas plastik bekas air mineral kemasan sudah ia kantongi.
Waode kembali ke posisi semula, tepat di sampingku menitip hasil kerjanya,
lalu segera membaur di antara sampah-sampah pasca upacara peringatan
Hardiknas. Kini ia membawa kresek merah sedikit besar, berharap akan terisi
penuh seperti sebelumnya. Kuperhatikan, ia melakukan pekerjaannya seorang diri
nyaris tanpa saingan, kecuali para petugas kebersihan yang berhasrat melakukan
hal serupa demi menambal gaji bulanan yang katanya selalu dipotong.
Sesekali Waode dibentak para petugas kebersihan, dilarang memungut
bekas-bekas air mineral kemasan yang ada karena masih banyak orang di arena.
Sadar tidak dalam kondisi tepat, Waode menjeda pekerjaanya penuh kecemasan. Ia
tak ingin sumber rejekinya lebih dulu dipungut petugas kebersihan kota yang
sudah menyapu sisi-sisi jalan. Setelah lengang kerumunan orang-orang, ia
meneruskan kembali pekerjaanya tadi. Kali ini, sebuah keresek hitam di tangan kiri,
sedang tangan kanannya sigap memungut plastik-plastik bekas.
Pelan-pelan senyum di bibir Waode mengembang meski pekerjaanya belum tuntas.
Tak lama, ia menghampiriku, menghamburkan senyum terbaiknya. Memanfaatkan
momentum, kini giliranku bekerja, sedikit merapat di antara tumpukan sampah
hasil kerja Waode, aku lempar selembar senyum sekedar mengakrabkan diri. Satu
pertanyaan pembuka, ia jawab dengan sisa-sisa senyum yang masih mengembang. Dua
tiga pertanyaan berikutnya, kami tak lagi sekalipun bersitatap, sebab Waode
nampak semakin sibuk. Kadang, ia meninggalkanku begitu saja, kembali memungut
satu dua gelas plastik air mineral, lalu kembali menyambung pembicaraan. Laga
Waode bak aktor-aktor Hollywood yang selalu sibuk saat meladeni lawan bicara.
Ada saja yang mereka kerjakan meski sedang ada tamu. Nah, Waode benar-benar
mengambil peran itu siang tadi. Walhasil, kusesuaikan ritme wawancara dengan
kesibukannya. Tak apalah, bukankah itu pun sudah bagus? Diberi kesempatan
mengobrol di tengah waktu kerjanya.
Perempuan peranakan Buton ini mengaku rejeki siang pasca upacara Hardiknas
di Kota Ambon sudah cukup bila digabungkan dengan hasil pulungannya kemarin. Ia
berharap, bisa mengais 50.000 rupiah hari ini, setidaknya lebih besar dari
penghasilan sebelumnya yang hanya 20.000 rupiah. Tanpa membuang waktu, satu
persatu plastik-plastik bekas itu ia sortir. Tak semua yang dipungut dapat
dijual, sebab hanya kemasan bekas air mineral yang masih bagus saja yang
diterima pengepul. Tangan Waode lincah menari-nari membersihkan satu per satu
bekas gelas plastik air mineral, nampak seirama lagu dangdut dari arah
panggung.
Meski sedang bahagia, raut wajah Waode seketika berubah dipicu pertanyaan
seputar keluarganya. Kulihat, di pelupuk matanya telah menggenang bah kerinduan
yang segera tumpah. Kepalanya menunduk, berusaha menyembunyikan kesedihan yang
teramat berat. Perlahan, ia sorongkan wajahnya ke arah yang berseberangan
dengan tatapanku. Sedikit berat suaranya mengayun pelan, mengabarkan sebuah
kesedihan yang menyayat. "Bapak sudah meninggal, dek. Dulu Bapak
bekerja sebagai nelayan, menjaring ikan sampai ke daerah Tual." Duh,
remuk rasanya hatiku, ikut membasah. "Ibu dulu tidak bekerja, tapi
sejak lima tahun lalu itu, akhirnya ibu kerja." Ia sambung kembali
sejarah hidupnya yang menyayat itu, tanpa sempat kubalas kalimat sebelumnya.
Belum tuntas kesedihan karena rindu yang sempurna pada sang suami, cerita
pilu lain menganga dari penggalan-penggalan kisah berikutnya. Kali ini, Waode
merasa sangat sedih lantaran tak mampu menyekolahkan keenam anaknya.
Satu-satunya jalan untuk meringankan beban hidup mereka adalah membiarkan
anak-anaknya menikah. Kini, sudah empat anak menikah, masing-masing genap dalam
keluarga kecil mereka. Tersisa dua anak seumuran siswa SMP dan SD yang juga
kehilangan kesempatan mengenyam pendidikan. Nahas bagi Waode, Hardiknas dari
tahun ke tahun tak berdampak apapun bagi hidupnya, atau setidaknya bagi
anak-anaknya yang ingin bersekolah. Satu-satunya kebahagian setiap kali
Hardiknas adalah peluang memungut lebih banyak plastik-plastik bekas.
Mana bisa Waode menyekolahkan kedua anaknya, sedangkan uang hasil kerja
hanya cukup makan sehari. Setiap pagi, Waode bersaing dengan puluhan penjajah
kantong kresek lainnya di jantung Pasar Mardika. Harga jualnya pun hanya 500
rupiah per satu kantong. Seharian, paling banyak Waode mampu menjual 40
kantong. Baru 20.000 rupiah yang ia dapat setelah seharian membenamkan diri di
tengah hiruk-pikuk pasar. Demi menunjang pemasukan, setiap sore giliran ia
berkeliling memungut kemasan bekas air mineral. Itu pun ia kumpulkan
berhari-hari, baru bisa dijual. Satu kilo plastik dipatok pengepul seharga
5.000 rupiah.
Waode tak terbiasa mengandalkan orang lain. Bahkan, anak kandungnya
sekalipun. Ia tak pernah meminta uang dari keempat anaknya yang sudah
berumahtangga. Pikir Waode, hidup anak-anaknya pun sudah susah, harus menafkahi
keluarga dan menyekolahkan cucunya. Jadi, ia memilih bertopang di atas kakinya
sendiri. Sungguh tak ada lagi senyum yang merambati ekspresinya kecuali kesedihan
yang terus menggantung di sana. Waode tak berani menakar hidupnya, apakah serba
kurang atau pas-pasan. Jangankan sepotong baju baru, beras dan lauk-pauk pun
masih ia pikir-pikir tiap kali membeli. Sejak ditinggal suami yang berpulang
lima tahun silam, yang diketahui Waode hanyalah bersyukur, menjalani
hari-harinya demi sesuap nasi. [SR]