Belakangan, tak sedikit dari kita asyik merawat kedunguan. Tak mau ribet berpikir mendalam (kontraproduktif), malas memverifikasi fakta faktual suatu informasi, sentimentil golongan, berkesimpulan prematur, dan senang menjadi beda meski salah, adalah secuil sebab.

Kita kerap terjebak produksi wacana stensilan yang marwah gagasannya cetek, nampak logis dan sederhana tapi minus fakta juga cenderung sporadis. Alhasil, alur berpikir kita pun tidak konstruktif, menclok sana-sini, dan mudah terbawah arus opini.

Misal, menganggap kejahatan First Travel (FT)  sebagai kesalahan ajaran Islam lantaran pentolannya bergaun muslimah adalah sesat logika. Tapi, betul itu aibnya sebagai muslim? Iya, boleh dibilang, tepat. Apa pasal? sebab FT mengomodifikasi ritual ibadah jadi ladang bisnis, tok.

Kalau bekerja di luar negeri demi menafkahi keluarga, lantas dijadikan alasan minggat dari rezim yang dianggap gagal, maka jelas ketidakdewasaannya. Agak kurang bijak, kalau hanya mau pulang jika ada garansi ganti rezim. Jadi, kami harus merapikan negara ini demi kepulangan Anda? Epen, ka?

Kasus lain, ya, semisal membenci segala bentuk kemajuan Indonesia, lalu berlebihan mengagumi negara lain. Atas nama agama dan ideologi, kita melaknat Indonesia menjalin bilateral dengan Tiongkok, tapi tak mengapa Turki berbisnis dengan Israel, atau parpol komunis subur di Palestina.

Sebaliknya, memuja rezim sekarang tanpa celah kritik dan pengawasan adalah pembiaran akan tumbuhnya tunas-tunas tirani. Katakan salah walaupun itu pahit.

Jadi ini masalah apa? Ini tentang kedunguan yang dirawat (saya senang menyebutnya, dungualitas) . Kalau sudah besar, ia bermetamorfosa jadi benci dan perpecahan.

Supaya hidup kita tak sedangkal dan semain-main ini, kita coba olah pikir, olah rasa, dan jangan lupa olahraga.

Cermat olah pikir adalah bentuk pemurnian jati diri. Jikalau ingin merawat hal yang hakiki dari diri kita, maka rawatlah pikiran kita. Kata Pramoedya Ananta Toer, siapa yang mencuri pikiran maka ia mencuri sesuatu yang hakiki dari manusia. (Shulhan R)
Baca Selengkapnya >>>
0 komentar

Bayangkan! Di mahkamah langit sana, milyaran doa-doa tengah berdiplomasi dengan Tuhan. Mereka datang dari seantero bumi, mewakili tiap hamba sebagai juru bicara.

Segala rengekan curhat dan permohonan akan harapan-harapan, pun disampaikan. Doa-doa hadir dalam rupa berbeda, cerminan dari siapa ia datang.

Barangkali, ada doa yang datang bergaun cantik juga berparas jelita sebab ia datang dari seorang sholehah. Pun sebaliknya, selengean dan compang-camping, lantaran ia diutus seorang berlagak parlente namun culas mengakali Tuhan.

Ingat, doa itu delegasimu juga juru negomu. Dari doa, kamu ketahuan, ketangkap basah, siapa kamu sebenarnya. (Shulhan R)
Baca Selengkapnya >>>
0 komentar