Pagi itu, udara di desa begitu dingin dan terasa menyergah hingga sumsum. Aroma khas udara pegunungan, kicauan aneka burung di balik rerimbunan hutan, ditambah irama deburan ombak musim timur, benar-benar menjadi pembuka hari yang berbeda dari biasanya. Perlahan saya mengamati suasana sembari mengedar pandangan ke sekitar rumah, menghela oksigen sebanyak-banyaknya dengan satu tarikan napas panjang lalu menghebuskannya lewat mulut. Saya melakukannya berkali-kali, dan dada saya terasa begitu lega melompong.
Tak lama, beberapa kawan dari Pecinta Alam Desa Kwaos (Kompak) datang dan meminta segera bersiap-siap karena agenda muncak ke gunung Samin dimajukan hari itu juga. Padahal, kegiatan muncak semula dijadwalkan pekan depan seusai kegiatan kepemudaan di desa. Namun karena perhitungan kondisi cuaca pegunungan yang kurang bersahabat, akhirnya dimajukan.




Alhasil, saya bawa bekal sealakadarnya saja. Tentunya, bekal khas orang Ambon yaitu sagu, ikan julung kering, cabai, garam, kacang telor, sebotol air mineral. Sekilas, bekal ini cocoknya bukan ke gunung tapi piknik ke pantai, hehehe. Saya juga gak lupa bawa obat-obatan. Kalau kawan-kawan lain, mereka bawa beras 3 kg per orang. Di luar logistik, ada yang bawa parang, panci, korek gas, senter, tali, terpal, gitar, bendera Indonesia, dll.
Awalnya saya khawatir, sebab ini baru pertama kali saya ikutan kegiatan muncak dan katanya medan ke puncak Samin cukup terjal, jauh, dan cuaca di gunung tak kondusif. Tapi karena jumlah kita cukup banyak sekitar 26 orang yang penasaran menaklukkan puncak Samin, jadinya saya juga bersemangat.
Sekilas tentang Gunung Samin ini, ia terletak di antara gunung-gunung di petuanan Kwaos, dataran Hunimua, Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT), Maluku. Ada beberapa gunung yang melingkar membentuk kubangan raksasa, lalu Gunung Samin berada tepat di dalam kubangan tersebut. Meski dalam kubangan, tinggi gunung Samin hampir setara dengan gunung-gunung di sekitarnya. Dalam perkiraan saya, ketinggian gunung Samin mendekati 600 mdpl. Memang tidak terlalu tinggi seperti rata-rata gunung di Pulau Jawa tapi tetap menarik didaki karena merupakan tipikal gunung basah atau lembap.



Tepat jam 6 pagi, kami sudah berkumpul di depan komplek sekolah SDN Desa Kwaos. Panitia mulai memberi pengarahan agar semua tetap dalam satu komando saat perjalanan, dan tiap orang diminta memastikan semua bekal sudah terbawa. Yang lebih penting, kami diharuskan bersikap bijak dan tidak bertingkah aneh selama menjelajah hutan, sebab diyakini area hutan Gunung Samin terdapat banyak keramat.
Kami keluar di ujung kampung untuk menembus rimba petuanan Kwaos (istilah petuanan adalah kawasan/wilayah kekuasaan, dalam hal ini raja Desa Kwaos). Selepas 20 meter dari ujung kampung, saya merasa sudah tenggelam dalam hutan belantara. Maklum saja, jenis hutan di sini adalah hutan hujan tropis, jadi semua pepohonan dan tanaman tumbuh subur dan sangat lebat.
Sebelumnya, kami sudah janjian dengan Kena Din sang pemandu yang lebih dulu ke pos pertama, menunggu kami sekitar 2 kilometer ke dalam hutan. Soal jelajah hutan, Kena Din lah jagonya, sudah sangat tau seluk-beluk hutan di sini, bahkan dia sering dijadikan pemandu (guide) oleh Dinas Kehutanan Maluku maupun mahasiswa dari Pulau Jawa yang ingin penelitian atau muncak di salah satu pegunungan dataran Hunimua.
Setelah 35 menit perjalanan, kami akhirnya bertemu Kena Din di kawasan Kalapa Dua dan istirahat sekitar 5 menit. Di sini, Kena Din mewanti-wanti kami supaya saling sapa atau bersuara sebagai kode kalau berjauhan, memperhatikan tanda jalan yang sudah dibuat oleh tim yang duluan menyisir jalan, hati-hati kalau ada hewan liar seperti babi hutan, anjing hutan, maupun ranjau-ranjau untuk tangkap rusa. Terakhir, katanya dia khawatir kalau saya tidak kuat jalan. Hemmm, poin terakhirnya semacam pelecehan yang sistematis, terstruktur, dan massif, hahaha.
Kami langsung dibagi tiga kelompok, yang pertama tim sapu jalan, kedua tim logistik, dan terakhir tim sapu jagat. Karena target sampai ke pos istirahat sekitar jam 5 sore, maka kami harus berjalan cepat. Rute ke pos istirahat memang cukup jauh dan memutar, jadi kami harus jalan cepat. Pos sasaran berikutnya adalah Duran Lean, Tawerak Kapitang, gunung batu Kulbakarina, dan masih banyak pos lagi. Oh iya, ini bukan pos seperti di kawasan pendakian Gunung Semeru atau Gunung Rinjani. Ini hanya pos bayangan yang kami bikin sendiri untuk sekedar melepas lelah dan menghela oksigen.
Karena matahari makin meninggi sekitar jam 7.30 WIT, kami harus segera bergegas. Sebelum melanjutkan perjalanan, kami berhitung lagi untuk memastikan jumlah anggota tidak berkurang atau malah bertambah, hahaha. Menurut mitos di desa, biasanya ada “orang” atau makhluk astral yang suka menyembunyikan jalan di hutan sehingga tanpa terasa kita makin tersesat dari tujuan. Saya mulai parno, berasa seperti ikutan sebuah ekspedisi gaib, hahaha.
Kini kami mulai menjauh dari Kalapa Dua menuju kawasan Duran Lean. Dalam perjalanan, saya sibuk foto sana-sini karena memang sangat indah kawasannya, dipenuhi ribuan tumbuhan paku, jejak-jejak rusa dan babi hutan, juga bekas area yang terbakar hangus. Kami terus merangsek menembus rimba, betul-betul menerabas hutan, membuat tanda jalan sendiri dari patahan ranting, rotan atau batang kayu yang dikupas. Saya hanya membayangkan, andai saja tanpa guide, pasti kami sudah tersesat meski baru jalan 1 kilometer. Beberapa kali saya hampir hilang jejak karena salah membaca tanda jalan yang dibuat tim sapu jalan. Fatalnya, tidak satu pun dari kami yang bawa kompas.
Kami tiba di kawasan Tawerak Kapitang. Namun tanpa istirahat, kami langsung patah haluan menuju Kulbakarina. Jam di HP saya menandakan pukul 9, itu artinya butuh 2 jam perjalanan lagi. Ya, medan hutannya masih landai memang, tapi jauhnya itu yang gak nahan, rasanya pengen cepat-cepat sampai.
Tak lama lepas dari Tawerak Kapitang, udara sudah mulai dingin, cahaya matahari pun seperti terhalang lebatnya hutan, dan medannya mulai sedikit menanjak. Beberapa kali tim sapu jagat memberi kode suara, karena ketinggalan cukup jauh dari kawan-kawan logistik. Uoooooo, uoooo, uuuuuii…berasa tarzan deh pokoknya. Hahaha, dan kita pun silih bersahutan. Alhamdulillah, masih dalam radius aman karena ada balasan suara dari tim lain.
Kami mulai melintasi kali-kali kecil, mata air kecil, merangkak di bawah pepohon tumbang, dan sedikit menanjak. Pijakan batu-batu yang kurang kuat juga cukup merepotkan. Masalahnya, kalau salah berpijak, kita bakal menggelinding ke bawah. Medannya mulai terasa sedikit menguras energi. Di tengah jalan, Om Usman dan Om Tip memotong dan memikul sebatang kecil obat kuning. Katanya itu sejenis rotan kuning, dalam bahasa setempat disebut kayu Ara Kuning. Air hasil rebusannya diyakini sebagai obat kuning dll.
Pikir saya, kita baru saja menuju puncak dan pasti bakal repot kalau harus menambah beban. Benar saja, Om Usman mulai terkilir dan Om Tip sudah hosa gak karuan saat menanjak ke Kulbakarna. Safari yang juga ketua pendakian meminta mereka buang saja kayu obat itu karena puncak Gunung Samin masih sangat jauh. Sambil memastikan kondisi keduanya, kami lanjut jalan lagi dan tibalah di puncak Kulbakarina. Seketika lelah pun hilang, seperti tersihir pesona gua yang satu ini, menjulang sekitar 50 meter ke atas.



Untuk masuk ke dalam gua, kami harus menanjak dengan kemiringan sekitar 35 derajat dengan sedikit merangkak. Jalannya licin dan penuh dedaunan kering, salah langkah pasti tergelincir. Masing dari kami berpegangan pada batu-batu yang menyembul di balik timbunan daun-daun kering. Setelah sampai, masih butuh sedikit usaha lagi untuk masuk pintu gua, harus manjat dinding gua sekitar 3 meter. Di dalamnya, banyak kalong gelantungan, stalagmit dan stalagtit. Tak ada yang berani masuk lebih jauh karena kondisi gua sangat gelap.
Sekitar 20 menit di Kulbakarina, kami langsung tancap ke mata air di kaki Gunung Suru dan berencana makan siang di sana. Sampai di sana, kami bagi tugas, ada yang ambil kayu bakar dan memasak. Karena kita hanya bawa beras dan mie, saya pikir cuma itu menu makan siangnya. Ternyata, di luar dugaan saya, teman-teman sudahmanggurebe tangkap guran alias udang air tawar. Wow, akhirnya menu lunch kami kali ini, seafood.



Sambil nunggu menu racikan koki andalan si Gotam, saya narsis ria di mata air bersih yang langsung dialirkan ke kampung lewat pipa-pipa besar untuk digunakan warga. Di sekitar situ ada kolam air bersih alami lainnya yang dibilang Sefur Kapal. Tanpa menunggu lama, saya langsung terjun. Huh, segernya minta lagi, lagi, dan lagi. Dijamin ketagihan kalau berenang di sini. Selain jernih, air ini bisa langsung diminum. Oh iya, dinamai Sefur Kapal karena bentuknya seperti bumbungan kapal dan gemuruh angin di situ terdengar seperti suara kapal. Di zaman penjajahan, lokasi ini dijadikan tempat persembunyian warga.
Setelah kenyang, kami langsung lanjut perjalanan menuju puncak Gunung Suru dan Air Terjun Kelbasusah. Saya jadi gak sabaran karena ini spot yang paling saya tunggu. Dalam perjalanan, kami sempat memutar sebuah tembok alam setinggi 7 meter dengan panjang kira-kira 300 meter. Saya terkesima karena ini batu alam yang nampak seperti tembok Cina atau sebuah benteng pertahanan. “Jangan-jangan di zaman penjajahan Belanda, banyak warga kampung yang lari sembunyi ke sini,” seloroh Kena Din di tengah perjalanan.
Lewat dari tembok ini, kami mulai menanjak sekitar 45 derajat ke puncak Gunung Suru. Tinggi gunung ini sektar 1500 mdpl. Sulit untuk berjalan konstan karena medan yang berat. Hampir semua dari kami sangat kelelahan di medan satu ini. Selain penuh dedaunan kering, banyak sekali batu-batu putih besar. Untungnya, banyak pepohonan, jadi bisa berpegangan dan pelan-pelan mulai menanjak. Kami juga menemukan beberapa pohon yang jadi komoditas pasar yaitu pohon damar, pohon gaharu, dan rotan.

Setelah di puncak, semua lelah lepas begitu saja lantaran hamparan hutan yang begitu luas langsung memanjakan mata. Harus diakui, berada di puncak Gunung Suru itu seperti berada di atap belantara hutan Hunimua. Ke mana pun kita mengedar pandangan, mata langsung tertumbuk gunung-gunung lain yang memancang kokoh, ada Gunung Salagur, Gunung Sengan dan Gunung Samin. Tak hanya itu, hamparan hutan yang luas dan berbukit-bukit pun terlihat rata bak setapak.
Sementara asyik menikmati permadani hijau yang terhampar itu, ternyata kami terpisah jauh dari kelompok 1 dan 2 yang sudah turun lebih dulu ke air terjun Kelbasusah untuk mendirikan camp di sekitar situ dan mulai memasak. Sekitar 30 menit di puncak, kami bergegas menyusul karena khawatir hilang jejak. Medan turunnya pun ini sedikit memutar lereng gunung yang cukup licin dan tanah yang lembap. Saya sempat terpeleset dan meluncur ke bawah seperti main perosotan, untungnya ada kayu yang bisa saya pegang, kalau tidak, bisa tamat riwayat detik itu juga. Sejujurnya, saya malah senang perosotan alami begitu, semacam ada rasa puas setelah hormon adrenalin saya dipacu insiden itu.
Kami tiba di Kelbasusah jam 5.30 sore, langsung disambut suguhan kopi hangat dan lagu-lagu daerah yang dinyanyikan teman-teman. Dulunya, area ini adalah air terjun dan kali besar. Sayangnya, sudah kering karena tertutup longsor besar. Dalam pengamatan saya, kepala air terjun ini setinggi 30 meter dan lebar kalinya sektar 15 meter.
Malam sudah mulai menutup langit-langit hutan, sebuah camp kecil sudah siap, dan api unggun pun sudah manyala. Kami langsung mendendang lagu-lagu khas Maluku, sesekali deselingi tembang nostalgia Lola Drakel dan MOP Papua. Biar suasana semakin membakar, saya langsung bagi-bagi kacang telor manis. Hasilnya jos, kayaknya pada semangat nyanyi, dan saya pun tertidur. Sayangnya, malam itu hujan deras jadi kami harus tidur baku sosak (desak-desakan) dalam satu tenda kecil itu.

Paginya, koki Gotam sudah masak bubur. Benar-benar bukan menu sarapan di gunung, malah berasa kayak di rumah saja. Satu catatan, teman-teman ini makannya banyak banget. Seperti kata Abdur waktu stand up Kompas TV, “Orang timur kalo timba nasi, hemm…gunung Semeru.” Sumpah, nasi segunung pake nambah, bila perlu nambah sagu kalau ada.hehehe. saya kwatir, bekal bakal habis hanya dalam 1 dua hari, padahal kita rencana 3 hari 2 malam sesuai rute ke puncak Gunung Samin.
Hujan masih lebat, kami belum bisa bergegas. Tepat jam 9 hujan reda dan kami bergegas menuju kawasan Afi Ka. Ini adalah area dimana berhektar-hektar tanaman paku terbakar hangus puluhan tahun lalu akibat kemarau panjang, makanya disebut Afi Ka (Api yang Menyala). Berdasarkan penuturan orang di kampung, saking besarnya api, orang kampung bisa melihat membaranya api dan area pegunungan menjadi warna kuning kemerahan saat malam hari.
Menuju Afi Ka cukup berat karena terus menanjak, pijakan yang licin sehabis hujan menjadi kendala terberat.  Tiba di kawasan ini, masih ada sisa-sisa lahan kering akibat kebakaran hebat itu, namun hijaunya hamparan tanaman paku membuat semua tragedi itu seolah tak pernah ada. Tinggi tanaman pakunya sekitar 2 meter, saya tenggelam di tengahnya, bahkan saat terjatuh pun berasa memantul di atas springbed,empuk sangat. Di kawasan ini, Om Usman menanam bibit pala, cengkeh, dan kelapa. Dia berharap bisa panen suatu saat (Wih, jauh amat kalau harus panen, berat di ongkos Om.hehehe).



Di sini kami puas-puasin bernarsis ria dan menancap satu bendera putih yang dibubuhi tanda tangan semua anggota pendaki, ya buat tanda kenangan saja. Hampir dua jam hanya untuk sesi pemotretan.hehehe. saya sendiri sudah menyiapkan tema foto yang bakal saya lakuin di gunung, yaitu “membaca alam”. Saya sengaja bawa buku hanya untuk properti foto ini, karena unik, kawan-kawan pun ikutan. Dalam setahun belakangan, saya terobsesi berpose di mana pun dengan buku, konsepnya “membaca di mana saja dan kapan saja”.
Setelah puas foto-foto, kami langsung menanjak lagi menuju puncak Samin. Di tengah kumpulan tanaman paku, kami juga menemukan spesies endemik langka yang jumlahnya banyak di Indonesia yaitu Kantong Semar (genus nepenthes). Indonesia memiliki 64 varian spesies kantong semar yang tersebar di seluruh wilayah. Sekitar 32 jenis spesies tumbuhan karnivora ini, adanya di Kalimantan. Kebetulan, yang saya temuin itu kantong semar Papua jenis nepenthes mirabilis.


Kami terus ke puncak, karena hujan, sebagian teman-teman memutuskan langsung ke kali Air Keta. Sedangkan saya dan 5 orang lainnya memaksa merangsek ke puncak. Namun karena hujan yang makin deras, angin yang begitu kencang, akhirnya kami hanya sampai di bibir puncak saja. Sudah cukup puas, dari sana kami bisa melihat ombak mengibas putih di pantai Kabupaten Seram Bagian Barat. Kami pun menancapkan satu bendera merah putih, dibiarkan berkibar sebagai bukti bahwa kami pernah ke sana.
Setelah puas di puncak, kami menyusul kawan-kawan, tiba di kali Air Keta sekitar pukul 4 sore, kami nginap di sana semalam. Kali ini tendanya dibuat sedikit besar, beralas daun-daun lebar. pokoknya jauh lebih bagus dan nyaman dari campsebelumnya. Kawan-kawan lain ada yang tangkap udang, ada yang mancing, dan ada yang mandi. Bisa bayangin kan, para perjaka timur sedang mandi bareng? Ini semacam badadra yang mandi di kali, dengan warna pelangi yang kelabu semua.hahaha.
Keesokan harinya, kami langsung bergegas keluar hutan dengan rute menyusuri panjangnya menuju kampung Leantasik. Berjalan sekitar 5 jam, kami istirahat di tubir kali Air Keta untuk makan siang. Di sana, ada banyak batu intan yang diambil teman-teman. Mulanya batu kekuningan itu dikira emas, masing-masing berebut jatah, ternyata itu intan. Perjalanan kami lanjutkan, tepat jam 2 siang kami tiba di kampung Lintasik, lalu menyusuri jalan setapak ke Desa Suru.
Di jembatan Desa Suru, kami sempat foto-foto lagi, seakan-akan tak ingin melewati satu spot pun tanpa dokumentasi.  Dan akhirnya, hanya butuh tiga kilo meter lagi, kami pun tiba di Desa Kwaos tanpa kurang satu apapun.
Akhirnya, saya hanya bisa mengambil hikmah bahwa Tuhan menghamparkan hutan, memancangkan gemunung, untuk kita tafakkuri dan syukuri atas nikmatnya pengembaraan hidup ini. (SR)
Tulisan ini terlebih dulu diposting di www.kompasiana/shulhan
Baca Selengkapnya >>>