Bicara politik SBT (Kabupaten Seram bagian Timur, Maluku) yang kekinian itu, tak lepas dari tipologi berpolitik yang dianut kebanyakan masyarakat SBT. Apa itu? tipologi POLITIK HABAR BOBAK alias Politik HB, yang dalam  istilah komunikasi politiknya disebut Politik Retoris. Katanya, Politik HB ini sudah mengakar urat di SBT. Itu batul ka? :)

Oke, lanjut! Terminologi Politik HB (politik retoris) ini, sederhananya adalah cara berpolitik yang bertumpu pada kekuatan retorika yang asumtif (bersifat dugaan, miskin data dan fakta yang ferivikatif). Lalu, salahkah kalau katorang menggunakan politik HB? tentu tidak. Berpolitik HB itu bukan persoalan salah benar, tapi bicara efektivitas, kecepatan, dan ketepatan memainkan wacana/isu.

Keuntungan

Politik HB itu fungsinya memainkan wacana atau isu secara sporadis. Jadi, jangan harap politik HB akan menyuguhkan fakta faktual. Untungnya dimana? 1. Politik HB mencipta dan memainkan wacana secara acak/ tak beraturan (sporadis). 2. Cocok digunakan untuk mendistribusikan pesan-pesan propagandis dalam kampanye. 3. Politik HB bisa memainkan teknik card stacking, yakni pemilihan pernyataan-pernyataan yang memiliki efek domino di masyarakat. 4. Isu akan mudah tersebar dan tak terkendali.

Jadi, jangan heran kalau tiba-tiba ada pernyataan, "Berdasarkan survei, MUFAKAT menang telak 75% di kepulauan Gorom." Atau "Sus-Goo dipastikan memang 80% di Tana Basar." Saling klaim kemenangan yang dilakukan masing-masing timses dengan teknik ini, sebenarnya hanya sebatas memancing reaksi dan perhatian publik saja. Toh, pada dasarnya hasil survei itu belum jelas siapa pelaksana surveinya, metodologinya seperti apa dll.

Tapi, politik HB juga bisa berhasil, tergantung siapa yang menggulirkan isu. Dalam perspektif teori naratif Walter Fisher di bukunya Human Communication as Narration: Toward a Philosophy of Reason, Value and Action (1987), salah satu hal utama yang jadi power narasi adalah dapat dipercayanya karakter para aktor yang membawakannya. Jadi, kalau mau pakai politik HB dalam kampanye, pilihlah orang yang kalau berbohong saja, orang lain percaya.hehehe.


Kerugian

Pertama, Politik HB, bisa memantik keresahan, pertentangan, dan konflik di masyarakat akar rumput. Coba renungkan, berapa banyak keluarga yang tapisah, hanya gara-gara percaya isu-isu politik. Pernah dengar ungkapan begini "jang percaya kandidat ini, dorang cuma janji-janji manis saja". Persis, begitulah politik HB.

Kedua, Politik HB tidak menyumbang elektabilitas maupun insentif elektoral, sebab pesan politik yang disampaikan sulit terbaca maksudnya, masih mengawang-awang, dan bersifat wacana.

Ketiga, Politik HB sulit dipercaya kebenaran pesan yang disampaikan. Mungkin ungkapan ini bisa sebagai contoh: "Kamong bicara banya tapi seng ada bukti." Nah, kira-kira begitulah Politik HB, banyak bicara miskin aksi.

Keempat, Politik HB sering dimainkan oleh masyarakat akar rumput, sehingga keabsahan sebuah informasi atau pesan masih dipertanyakan lantaran jauhnya sumber-sumber informasi primer terkait sang kandidat.

Apapun nanti dinamika Pilkada SBT, partisipasi politik harus terus dijaga. Yang bisa nyoblos, jangan sia-siakan hak suaranya. Terakhir beta kutip pandangan Hutington dan Nelson dalam buku lawasnya No Easy Choise: Political Participation in Develoving Countries (1976), menyebutkan, fokus utama partisipasi politik adalah usaha mempengaruhi alokasi otoritatif nilai-nilai masyarakat.
Baca Selengkapnya >>>
0 komentar

Derap langkah Waode terburu-buru. Ia merapat begitu cepat ke arahku, seperti hendak memburu sesuatu yang teramat penting. Semakin dekat, kulihat tapak kakinya yang tak beralas membongkar genangan air di atas trotoar tanpa peduli. Ia terus memacu langkah tanpa menghiraukan ujung celananya yang basah terpercik. Setibanya di area Gong Perdamaian Kota Ambon yang nampak membulat di tengah kota itu, Waode mensejajari badanku. Gerak-geriknya terlihat seperti sibuk memperhitungkan strategi yang bakal ia jalankan. Dua bola matanya secara cepat berganti arah ke kiri dan kanan mengawasi keadaan sekitar.

Setelah nampak sempurna perhitungannya, Ia maju perhalahan, membawa tubuh gempalnya menyeruak di antara kerumunan. "Permisi ibu, permisi bapak..." ia memberi tanda agar manusia dalam kerumunan itu segera membuka jalan. Terkadang ia meliuk-liuk dalam lautan manusia, lalu merunduk secepat kilat menangkap buruannya. Gerakannya lincah, tangkapannya tepat, kadang mengandalkan tangan kanan, kemudian berganti tangan kiri. Dalam 5 menit, sekitar 50 gelas plastik bekas air mineral kemasan sudah ia kantongi.

Waode kembali ke posisi semula, tepat di sampingku menitip hasil kerjanya, lalu segera membaur di antara sampah-sampah pasca upacara peringatan Hardiknas. Kini ia membawa kresek merah sedikit besar, berharap akan terisi penuh seperti sebelumnya. Kuperhatikan, ia melakukan pekerjaannya seorang diri nyaris tanpa saingan, kecuali para petugas kebersihan yang berhasrat melakukan hal serupa demi menambal gaji bulanan yang katanya selalu dipotong.

Sesekali Waode dibentak para petugas kebersihan, dilarang memungut bekas-bekas air mineral kemasan yang ada karena masih banyak orang di arena. Sadar tidak dalam kondisi tepat, Waode menjeda pekerjaanya penuh kecemasan. Ia tak ingin sumber rejekinya lebih dulu dipungut petugas kebersihan kota yang sudah menyapu sisi-sisi jalan. Setelah lengang kerumunan orang-orang, ia meneruskan kembali pekerjaanya tadi. Kali ini, sebuah keresek hitam di tangan kiri, sedang tangan kanannya sigap memungut plastik-plastik bekas.

Pelan-pelan senyum di bibir Waode mengembang meski pekerjaanya belum tuntas. Tak lama, ia menghampiriku, menghamburkan senyum terbaiknya. Memanfaatkan momentum, kini giliranku bekerja, sedikit merapat di antara tumpukan sampah hasil kerja Waode, aku lempar selembar senyum sekedar mengakrabkan diri. Satu pertanyaan pembuka, ia jawab dengan sisa-sisa senyum yang masih mengembang. Dua tiga pertanyaan berikutnya, kami tak lagi sekalipun bersitatap, sebab Waode nampak semakin sibuk. Kadang, ia meninggalkanku begitu saja, kembali memungut satu dua gelas plastik air mineral, lalu kembali menyambung pembicaraan. Laga Waode bak aktor-aktor Hollywood yang selalu sibuk saat meladeni lawan bicara. Ada saja yang mereka kerjakan meski sedang ada tamu. Nah, Waode benar-benar mengambil peran itu siang tadi. Walhasil, kusesuaikan ritme wawancara dengan kesibukannya. Tak apalah, bukankah itu pun sudah bagus? Diberi kesempatan mengobrol di tengah waktu kerjanya.

Perempuan peranakan Buton ini mengaku rejeki siang pasca upacara Hardiknas di Kota Ambon sudah cukup bila digabungkan dengan hasil pulungannya kemarin. Ia berharap, bisa mengais 50.000 rupiah hari ini, setidaknya lebih besar dari penghasilan sebelumnya yang hanya 20.000 rupiah. Tanpa membuang waktu, satu persatu plastik-plastik bekas itu ia sortir. Tak semua yang dipungut dapat dijual, sebab hanya kemasan bekas air mineral yang masih bagus saja yang diterima pengepul. Tangan Waode lincah menari-nari membersihkan satu per satu bekas gelas plastik air mineral, nampak seirama lagu dangdut dari arah panggung.



Meski sedang bahagia, raut wajah Waode seketika berubah dipicu pertanyaan seputar keluarganya. Kulihat, di pelupuk matanya telah menggenang bah kerinduan yang segera tumpah. Kepalanya menunduk, berusaha menyembunyikan kesedihan yang teramat berat. Perlahan, ia sorongkan wajahnya ke arah yang berseberangan dengan tatapanku. Sedikit berat suaranya mengayun pelan, mengabarkan sebuah kesedihan yang menyayat. "Bapak sudah meninggal, dek. Dulu Bapak bekerja sebagai nelayan, menjaring ikan sampai ke daerah Tual." Duh, remuk rasanya hatiku, ikut membasah. "Ibu dulu tidak bekerja, tapi sejak lima tahun lalu itu, akhirnya ibu kerja." Ia sambung kembali sejarah hidupnya yang menyayat itu, tanpa sempat kubalas kalimat sebelumnya.

Belum tuntas kesedihan karena rindu yang sempurna pada sang suami, cerita pilu lain menganga dari penggalan-penggalan kisah berikutnya. Kali ini, Waode merasa sangat sedih lantaran tak mampu menyekolahkan keenam anaknya. Satu-satunya jalan untuk meringankan beban hidup mereka adalah membiarkan anak-anaknya menikah. Kini, sudah empat anak menikah, masing-masing genap dalam keluarga kecil mereka. Tersisa dua anak seumuran siswa SMP dan SD yang juga kehilangan kesempatan mengenyam pendidikan. Nahas bagi Waode, Hardiknas dari tahun ke tahun tak berdampak apapun bagi hidupnya, atau setidaknya bagi anak-anaknya yang ingin bersekolah. Satu-satunya kebahagian setiap kali Hardiknas adalah peluang memungut lebih banyak plastik-plastik bekas.

Mana bisa Waode menyekolahkan kedua anaknya, sedangkan uang hasil kerja hanya cukup makan sehari. Setiap pagi, Waode bersaing dengan puluhan penjajah kantong kresek lainnya di jantung Pasar Mardika. Harga jualnya pun hanya 500 rupiah per satu kantong. Seharian, paling banyak Waode mampu menjual 40 kantong. Baru 20.000 rupiah yang ia dapat setelah seharian membenamkan diri di tengah hiruk-pikuk pasar. Demi menunjang pemasukan, setiap sore giliran ia berkeliling memungut kemasan bekas air mineral. Itu pun ia kumpulkan berhari-hari, baru bisa dijual. Satu kilo plastik dipatok pengepul seharga 5.000 rupiah.

Waode tak terbiasa mengandalkan orang lain. Bahkan, anak kandungnya sekalipun. Ia tak pernah meminta uang dari keempat anaknya yang sudah berumahtangga. Pikir Waode, hidup anak-anaknya pun sudah susah, harus menafkahi keluarga dan menyekolahkan cucunya. Jadi, ia memilih bertopang di atas kakinya sendiri. Sungguh tak ada lagi senyum yang merambati ekspresinya kecuali kesedihan yang terus menggantung di sana. Waode tak berani menakar hidupnya, apakah serba kurang atau pas-pasan. Jangankan sepotong baju baru, beras dan lauk-pauk pun masih ia pikir-pikir tiap kali membeli. Sejak ditinggal suami yang berpulang lima tahun silam, yang diketahui Waode hanyalah bersyukur, menjalani hari-harinya demi sesuap nasi. [SR]


Baca Selengkapnya >>>
5 komentar

 
Berawal dari ngeblog, akhirnya bisa berbagi perspektif lewat buku & tulisan di media.

Perkembangan dunia blogging di era serba gadget ini, lebih dari sekedar jamur di musim penghujan. Setiap orang dimungkinkan mengabarkan apa saja, mulai hal terpenting sampai yang remeh-temeh. Karena banyak orang lakukan hal serupa, maka kita harus #Beranilebih dari itu.
Dengan motivasi berbagi, di awal 2010, saya mulai membuat blog. Hasilnya, hanya bertahan sebulan, blog itu saya biarkan karam. Selain tamplate yang gak kece dan miskin konten, saya juga bingung mengelolanya. Tak lama menjeda, Saya mulai nimbrung ngeblog bareng teman-teman di salah satu portal citizen journalism kala itu. Ndilalahnya, tulisan saya beberapa kali diganjar headline bersanding dengan para bloger kawakan. Saya pun jingkrak-jingkrakan bahagia, menemukan semangat baru, dan semakin keranjingan menulis.
Dari sana, saya mulai bermimpi menelurkan satu buku. Belum lagi niat itu terlaksana, Tuhan punya rencana lain yang lebih terstruktur dan sistematis. Tiba-tiba, seorang teman blogger meminta saya mengeditori novelnya. Dari situ, tawaran mengeditori buku, pun berdatangan. Akhirnya, niat menerbitkan buku menemui takdirnya. Skripsi saya terkait marketing politik, dipinang seorang doktor komunikasi politik untuk diterbitkan.
Buku saya: Komunikasi Politik Sebuah Pengantar yang nangkring di toko buku.

Tak berujung di situ, saya pun nekat mendirikan penerbit indi untuk gerakan sosial melek pendidikan. Saya memulai itu dengan projek Hibah 1500 Eksemplar Buku untuk pesantren-pesantren. Bermodal aktivitas ngeblog, saya meminta beberapa santri bloger untuk menuliskan kisah-kisah inspiraif mereka terkait pendidikan, tapi dengan catatan tidak dibayar alias pakai prinsip Depag “Ikhlas Beramal”. Satu-satunya royalti mereka adalah satu eksemplar bukti terbit. Alhamdulillah, semua bersedia.
Namun, masalah muncul, belum ada anggaran percetakan. Setelah wara-wiri cari donatur, ternyata saya selalu ditolak, dan tak sedikit yang sanksi gerakan ini. Padahal, naskah kadung diedit, sudah tahapan layout, cover sudah jadi, ISBN pun sudah punya. Masak iya, gagal? Seorang kawan menyarankan agar buku itu dijual dengan konsep bagi hasil, jadi sumbangan ke pesantren dialihkan dalam bentuk uang. Katanya, konsep ini bisa dipakai merayu donatur. Syukur, ada donatur yang bersedia. Saya bentuklah relawan marketing. Pascaterbit, tim pemasaran yang saya bentuk tiba-tiba pincang lantaran mereka sibuk bekerja. Saya mencoba membujuk supaya mereka mau melakukan pemasaran, tapi kenyataan berkata lain, tim itu akhirnya beku total.
Sisa saya seorang diri. Di depan sudah ada tagihan pengembalian modal si donatur. Saya diminta mengembalikan sekaligus modal yang belasan juta itu, dalihnya takut rugi karena tim marketing mandeg. Posisi saya kian terjepit, adangan-adangan itu membuat semangat saya tinggal remah-remah saja. Saya coba bernegosiasi, menyicilnya selama 6 bulan dengan nominal sekian. Negosiasi yang alot itu akhirnya dikabulkan. Besoknya, saya pindah kosan ke yang lebih murah meriah, fasilitas seadanya, tapi air buat mandi cukup bagus. :D. Thank God seems better, but it sounds a bit like lucky.
Apakah saya tamat? No…no…no…! Saya malah #BeraniLebih maju lagi. Semakin bersemangat menyambangi sekolah  membagi-bagi buku. Selain di Ciamis, saya membagikan buku-buku itu hingga ke beberapa sekolah dasar dan pesantren di pelosok Maluku. So, #BeraniLebih berbagi? Siapa takut!
Buku Kumcer yang akhirnya dibagi-bagi gratis ke sekolah dan pesantren
 
Membagi buku di Pontren Darussalam Ciamis. Buku dibagi gratis ke setiap SP3 yang ada di pesantren.

 
Sebagai editor

Memberi endorsement dalam buku ini



Sebagai editor





Facebook: Shulhan Rumaru
Twitter: @shulhanrmr
Google+: K. Arant


Baca Selengkapnya >>>
3 komentar