Kepulauan Banda, merupakan gugusan pulau-pulau kecil yang terletak sekitar 132 kilometer di bagian tenggara pulau Ambon provinsi Maluku. Kepulauan Banda juga menyimpan banyak informasi sejarah, keanekaragaman budaya, sekaligus menawarkan panorama alam yang maha indah. Kepulauan Banda tak hanya tersohor di Indonesia tapi menggaung hingga ke Eropa. Potensi rempah-rempah berkualitas yang berlimpah-ruah seperti pala, lada, fuli dan cengkeh menjadi daya tarik utama dalam bidang perdagangan bangsa Eropa dan Arab berabad-abad lalu. 
Tak heran, bila rekam jejak Kepulauan Banda diabadikan dalam buku Suma Oriental que trata do Mar Roxo ate aos Chins karya Tome Pires seorang apoteker Portugis yang mengunjungi Kepulauan Banda antara tahun 1512-1515. Hingga kini, Kepulauan Banda selalu menjadi tujuan perdagangan dan tempat wisata oleh wisatawan lokal maupun wisatawan manca negara.
Kepulauan Banda terdiri dari beberapa pulau, seperti Banda Neira sebagai pusat administrasi, pulau Gunung Api, pulau Banda Besar, pulau Keraka atau Kepiting, Sjahrir Island, Hatta Island, dan Pulau Ai. Masing-masing pulau ini menyajikan menu wisata yang unik dan menarik, mulai dari pendakian puncak gunung api, kunjungan tempat-tempat bersejarah, hingga menikmati taman laut yang menawan. Untuk mencapai Kepulauan Banda, tersedia pilihan transportasi udara dan laut.
Wisatawan dari Jakarta, Bali, dan wilayah lain di Indonesia dapat menggunakan pesawat Lion Air, Batavia Air, Sriwijaya Air dan Merpati tujuan Ambon dengan lama penerbangan 3 jam, setelah itu dapat menggunakan penerbangan dalam provinsi dengan Buana Air, Trigana Air dan Merpati Foker tujuan Ambon-Banda Neira. Rata-rata harga tiket pesawat tujuan penerbangan Jakarta-Ambon berkisar antara Rp 600.000 hingga Rp 3.000.000 perorang, sedangkan harga penerbangan dalam provinsi jauh lebih murah di kisaran harga Rp 120.000 perorang. 
Sementara transportasi laut yang tersedia hanyalah kapal PELNI KM Bukit Siguntang, KM Dobonsolo, KM Ciremai dan KM Lambelu yang melayani rute pelayaran Jakarta, Surabaya, Makassar, Bau-Bau, Ambon dan Banda Neira selama 4 hari waktu pelayaran. Kisaran harga tiket cukup variatif karena disesuaikan dengan pemesanan kamar di masing-masing kelas, mulai dari harga Rp 600.000 hingga Rp. 2.000.000 perorang yang include 3 kali makan sehari.
Banyak penginapan dengan harga terjangkau sudah tersedia di Banda Neira, bahkan penginapan dengan penawaran kelas wahid seperti Hotel Maulana pun disediakan untuk kenyamanan berwisata anda. Variasi harga hotel permalam sekitar Rp 150.000 - Rp 600.000. Dari hotel atau penginapan di Banda Neira, kita lebih mudah berkunjung ke setiap objek wisata karena transportasi yang tersedia cukup banyak. Objek wisata di pulau Banda Neira sendiri di antaranya rumah pengasingan Bung Hatta, Syahrir St, F. Iwakusuma Sumantri, dan Dr. Cipto Mangunkusumo yang dinyatakan Belanda sebagai tawanan politik di masa itu.
Arsitektur rumah pengasingan ini sangat khas dengan rumah kuno zaman penjajahan Belanda, berornamen kayu-kayu pahat dan lampu hias yang sudah terlihat usang. Terdapat pula ranjang, almari kayu, kacamata, buku, pena, kopiah, piyama dan Jas milik Hatta. Di rumah pengasingan ini, pengunjung dibolehkan memotret namun harus seijin pengelola. Kunjungan ke Rumah Pengasingan ini pun tidak dipungut biaya, namun pengelola menyediakan kotak amal bagi pengunjung yang mau bersedekah untuk perawatan bangunan.

 Rumah Pengasingan Bung Hatta (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Sekitar 100 meter tak jauh dari Rumah Pengasingan, kita sudah bisa berkunjung ke Benteng Belgica peninggalan koloni Belanda saat menduduki Kepulauan Banda pada tahun 1619 yang dipimpin Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen. Arsitektur benteng Belgica berbentuk persegi lima dengan beberapa tempat penting seperti ruang belajar, ruang pembantaian, dua terowongan pelarian diri dengan panjang mencapai 100 meter.
Ada juga peninggalan perang seperti meriam dan rantai borgol tawanan. Namun yang lebih khas adalah menikmati keunikan corak bangunan dan warna bangunannya yang sudah tua itu. Dari Benteng Belgica, kita dapat melihat seantero pulau Banda Neira dengan tolak pandang sangat memuaskan.

Tampak bagian dalam Benteng Belgika (Sumber: Dokumentasi Pribadi)


Kunjungan bisa dilanjutkan ke Taman Mini yang berhadapan dengan Benteng Belgica. Di sana terdapat patung Raja Willem III, patung para jenderal koloni Belanda, berjejer pohon-pohon tua dengan batang berdiameter 1,5-3,8 meter, dan banyak bangunan peninggalan Belanda. Taman Mini ini, bisa disebut juga sebagai kota tua seperti di Jakarta.
Sepulang dari Taman Mini, kita bisa berkunjung ke kampung Pecinan untuk membeli oleh-oleh khas Banda Neira seperti manisan buah pala basah dan kering, halua kenari, dan ikan tongkol asin. Riwayat kampung Pecinan sejak kependudukan koloni Belanda sudah dikenal sebagai pusat perdagangan. Kita juga bisa menikmati kentalnya nuansa etis Tionghoa di kampung Pecinan ini.
Setelah puas berkeliling, petualangan wisata bisa diteruskan ke pulau Gunung Api yang berhadap-hadapan dengan Banda Neira. Kita bisa menggunakan speedboat dari dermaga Laguna dengan kisaran harga Rp 10.000- Rp 15.000. jika ingin hemat, kita bisa menggunakan perahu ketinting khas Banda dengan kisaran harga Rp 5.000- Rp 10.000 perorang dengan waktu tempuh 10 menit saja untuk mencapai bibir pantai pulau Gunung Api. Di pulau ini, wisata paling menyenangkan yaitu memasuki kawasan taman wisata alam Gunung Api Banda dengan pendakian puncak gunung selama satu setengah jam.
Gunung Api ini ibarat monument alam yang Tuhan hadiahkan bagi masyarakat Banda. Ia memancang kekar di tengah lautan dengan lereng-lereng yang menggambarkan status vulkaniknya. Gunung ini ibarat saksi sejarah masyarakat Banda sejak dahulu kala yang menyimpan banyak rahasia, berjuta cerita, dan seabrek legenda. Pendakian ke puncaknya tak hanya menumbuhkan kebanggaan pribadi tapi juga semakin memancangkan rasa cinta tanah air. Ketinggian Gunung Api ini pada awalnya mencapai 800 mdpl, namun pada 9 Mei 1988 gunung ini kembali memuntahkan laharnya. Sejak itu, para ahli vulkanologi mencatat angka baru untuk ketinggian gunung ini yang merosot menjadi 666 mdpl.

 
Untuk mendapat panorama alam seperti sunrise dan sunset, pendakian bisa dilakukan dua jam sebelumnya. Sebelum pendakian, dianjurkan melapor ke petugas seksi konservasi Gunung Api Banda agar pendakian kita bisa dikontrol. Selama pendakian, kita melewati 4 pos utama sebelum menembus puncak dengan sudut kemiringan 30-45 derajat. Jalur yang dilalui saat pendakian cukup terbuka dan tidak terhalang semak belukar. Satu-satunya rintangan adalah sisa-sia batuan vulkanik yang mengeras namun mudah terlepas saat diinjak sehingga membuat pijakan menjadi kurang stabil.
Selebihnya, kita tinggal mengatur napas dan berjalan dengan konstan. Bahkan, jalur pendakian yang cukup terbuka itu juga menyajikan makanan alam seperti jambu merah yang bisa dipetik langsung. Setelah berada di puncak, dari sudut 360 derajat di atas ketinggian puncak 666 mdpl, Gunung Api menyajikan panorama yang spektakuler. Seluruh Kepulauan Banda terlihat menghampar, mulai dari Banda Neira yang tepat di bawah kaki gunung, pulau Banda Besar, Pulau Karaka dan pulau lainnya serta hamparan laut yang menampakkan tinta birunya.
Beberapa pulau di Kepulauan Banda juga terkenal sebagai lokasi penyelaman (scuba diving) dengan visibility terbaik di Indonesia. Kontur bawa laut yang bervariasi berupa dinding, goa-goa kecil serta overhang ini, sangat menarik untuk diabadikan. Kepulauan Banda juga menawarkan aneka taman laut seperti terumbu karang yang sangat terjaga kelestariannya. Bahkan menurut penelitian UNESCO, pertumbuhan terumbu karang tercepat di dunia untuk mencapai usia dewasa dalam kurun waktu kurang dari sepuluh tahun hanya ada di pulau Banda besar. Pulau ini mempunya area clear visibilitymencapai kedalaman 40 meter, sehingga pemandangan bawah lautnya terlihat jelas dan memesona.
Beberapa pulau yang juga menyediakan taman bawah laut di antaranya pulau Banda Neira, pulau Ai, pulau Hatta, pulau Sjahrir, dan pulau Karaka. Kejernihan air di pulau-pulau ini tak perlu diragukan lagi. Bahkan saking beningnya, air laut yang bening seolah terlihat memantulkan refleksi violet dan magenta biru dari langit, juga nampak bagaikan kaca yang terhampar di lautan. Terumbu karangnya terlihat jelas dari permukaan laut. Di antara pulau Banda Neira dan pulau Gunung Api terdapat tempat menyelam yang disebut Sonegat. Tempat ini menjadi sarang ikan blue girdled dan emperor angelfish yang cantik, juga pemandangan terumbu karang yang berwarna-warni.
Sementara di pulau Karaka atau pulau kepiting, kita bisa menikmati hamparan pantai pasir putih yang indah dan cocok untuk berpiknik. Di sebelah selatan pantai, terdapat beberapa mini-wall setinggi 18 meter yang ditutupi ratusan large blue dan  yellow tunicates. Sedangkan di arah timur pantai, kita bisa melihat hingga kedalaman 10 meter dengan aneka pemandangan ikan-ikan batu karang dan sekelompok barracuda sepanjang 50 sentimeter.
Jika beralih ke pulau Sjahrir, alam akan menyuguhkan kita hamparan pantai pasir putih yang luas serta air laut sebening kaca, sehingga sangat mudah kita melihat dan menikmati terumbukarang dan aneka biota laut yang ada. Waktu terbaik untuk melakukan penyelaman di pulau ini biasanya di waktu pagi dan sore hari. Untuk area snorkeling terbaik, kita bisa berkunjung ke pulau Ai dan menikmati keindahan surga lautnya yang sudah disediakan alam. 
Berwisata ke Kepulauan Banda tidak perlu merogoh kocek dalam-dalam sebab dengan Rp 5.000.000 saja, anda sudah bisa mengikuti 10 hari tour keliling Kepulauan Banda dengan seabrek objek wisata yang tersedia. Waktu yang tepat untuk mengunjungi Banda yaitu antara bulan April-November. Kondisi cuaca pada bulan-bulan itu cenderung stabil. Dianjurkan untuk tidak berwisata antara bulan Desember-Maret karena kondisi angin barat yang menyebabkan gelombang laut dan cuaca yang tidak stabil.
Sebagai pelengkap kunjungan wisata di Kepulauan Banda, kita dapat menyimak dan ikut nimbrung dalam beberapa perhelatan budaya setempat seperti prosesi cuci sumur pusaka yang dilakukan 8 tahun sekali. Biasanya prosesi cuci sumur dilakukan dengan tradisi lempar becek dan iringan pawai perahu Kora-kora (Coracora boat) sepanjang 29 meter dengan tinggi 80 sentimeter berkapasitas muatan 45 orang yang mengitari teluk Banda. Pawai perahu Kora-kora juga dilakukan hampir di setiap peringatan hari besar nasional.


Baca Selengkapnya >>>
0 komentar

Partai politik sibuk berkontestasi
Demi citra poles sana-poles sini
Rakyat diberi janji-janji pragmatis
Ujung-ujungnya bosan lalu apatis
Janji politik dijadikan komoditas
Pemilu presiden, pemilukada, jadi pasar lelang politik
Ramai diskon besar-besaran dan bonus jabatan
Katanya ini produk unggulan, sekali waktu bisa berubah
Tergantung empunya mau jual janji apa
Ada janji manis, janji palsu tipu-tipu, pokoknya janji-janji
Ramai sekali parpol promosikan janji dalam partai besar
Kalau diborong harga bisa murah
Semua produk berlabel katanya, niatnya
Bahkan buka lowongan caleg di mana-mana
Nyatanya, Ibu tua jompo ditipu beras dan gula
Gadis-gadis manis dikasih apel Malang, apel Washington
Ah dasar politik dasamuka
Di tiap panggung janjinya beda-beda
Tak masalah dibilang oportunis
Asal terjual semua produk politik



Baca Selengkapnya >>>
0 komentar

Bruk…brak…bruk…bunyi genteng berjatuhan, satu persatu atap kosan terlucuti, debu mengepul sesaki kamar tengah. Bagian depan kosan sudah benar-benar melompong atapnya dan lantai kotor berserak pecahan genteng.
Saya terkaget bangun, tengok kanan-kiri tak seorang kawan pun ada, samar-samar saya mendengar suara kerumunan di luar kosan, dan tanpa pikir panjang saya langsung lari ke luar. Dalam kondisi sadar yang belum purna, saya menerka-nerka apa yang terjadi sampai kosan serusak itu.
Untung saya gak ketimpa genteng, pingsan, dan masuk UGD,” pikir saya liar seketika. “Hah, kamu masih dalam kosan?” Bapak kos nampak kaget.
Saya pikir sudah ke kampus, jadi saya suruh tukang bongkar kosan karena mau digabung dengan rumah saya. Direnovasi. Saya sudah sediain kosan baru. Maaf mendadak,” jelasnya.
Astaga Pak, untung saya gak ketimpa genteng,” balas saya singkat. Dongkol.
Saya langsung minta turun harga, sebab pembongkaran dadakan itu nyaris membahayakan saya. Negosiasi berjalan alot, bapak kos bersedia kasih kosan satu petak seharga Rp 450 ribu, padahal kosan sebelumnya tiga petak, harga Rp 600 ribu. Saya sekukuh menawar Rp 350 ribu perbulan. Nihil, patok harga tak bisa dicabut, tetap 45′.
Saya pindah kostan Pak, saya minta tiga hari cari kosan baru, sementara saya di sini dulu,” tegas saya.
Oh, silakan,” jawabnya sambil lanjut mandor pembongkaran kosan.
Saya putuskan untuk tidak ngekos lagi di sana. Sembilan bulan sudah cukup. Kapok, pikir saya. Sedikit keluar dari radius kelurahan Semanggi, Ciputat, saya dapat kosan bagus di bilangan Legoso Timur, Ciputat juga. Saya jatuh hati pada pandangan pertama dengan kosan ini, seperti rumah minimalis, fasilitas ruang tamu, dua kamar tidur, satu ruang dapur, dan kamar mandi. Lebih istimewanya lagi, harganya persis Rp 600 ribu.
Alhamdulillah, kalau susah begini ada aja balasan baiknya,” syukur saya.
Deal, kwitansi pembayaran sudah di tangan. Dibantu teman-teman, akhirnya pindah dan ngekost bertiga. Saya sekamar sendiri. Hari pertama dilewati tanpa keganjilan apapun, bahkan nyaris sempurna menikmati kepindahan ini. Hari kedua, kemeja putih milik Robi nampak menguning, sisa-sia zat besi dari air sumur bor mengubah warnanya. Lantai dasar bak pun penuh endapan zat besi. Fatalnya, masak nasi di magic jar pun menguning karena pakai air keran dapur.
Aahhhh, kemeja baru gw jadi kuning, nasi bau besi, batal sarapan. Nasib…thank you,” ketus Robi pagi itu. Alhasil, kami ngelaundry semua pakaian kotor, tak mau ambil risiko lagi.
Kami langsung bergegas kuliah. Tak apalah satu baju yang rusak. Masih bisa dibeli besok tapi tidak dengan kosan yang murah ini. Maklum, mahasiswa doyannya kosan murah meriah, begitu alasan kami supaya tetap betah di kosan. Tapi, lebat guyuran hujan hari itu buat semuanya berubah. Saat pulang kuliah, kami harus menerjang banjir sekitar 35 sentimeter yang menutupi badan jalan di gang kosan, hampir selutut, dan kosan nyaris tergenangi.
“Yassalaaam…pindah, pindah, pindah. Ini musim hujan, bisa berbulan-bulan nasibnya begini terus,” celoteh Dani. Saya bergeming, tanpa sepatah kata membalas, langsung masuk kosan.
Jelang magrib, tampak warga di seberang kosan bersih-bersih sisa banjir di teras rumahnya. Kami pun sama, sibuk ngepel dan kuras bak mandi. Hampir sebulan berlalu, nasib masih sama. Sepakat, kami resmi pindah. Satu tahun 2006 yang berkesan, jauh dari Ambon datang jadi anak rantau pertama kali di Ciputat, Tangerang, disuguhi banjir dan aksi bongkar kosan dadakan. Benar kata kawan saya Robi, nasib.
Di awal Februari 2007 saat Jakarta darurat banjir sana-sini, lagi-lagi Ciputat pun senasib. Tak terkecuali anak kosan seperti saya.
Kring…kring, Han…Shulhan…Han, kosan banjir, lemari ngambang, komputer kelelep. Kasur, buku, juga rusak,” lapor Robi lewat telepon. 
Dug, saya mendadak lemas, khawatir dokumen penting di lemari rusak.
“Ok, meluncur ke TKP,” jawab saya singkat.
Tiba di kosan, saya langsung cari ijazah, buku tabungan dll dalam lemari yang sebelumnya memang sudah dibungkus kantung plastik anti air dan dimasukkan dalam map dokumen sewaktu disimpan di lemari dulu. Syukur, dokumen selamat tapi yang lain ludes.  keesokannya langsung pindah kosan lagi. Kali ini, pertimbangan utama adalah lokasi bebas banjir.
Saya migrasi dari Kertamukti, Ciputat ke Kampung Utan bagian selatan komplek UIN Jakarta. Saya tempati kosan dua petak, satu kamar mandi, dan letaknya terhimpit antara gedung sekolah dan masjid. Hampir 6 bulan saya tak sempat bersapa dengan matahari pagi, letak kosan ini terlalu dalam ke jantung gang komplek yang berhimpit-himpit rumah. Akhirnya, pindah juga. Tak tahan terisolasi terlalu lama bak sedang berkontemplasi saja di kosan itu.
Bu, saya pamit,” sambil salami Ibu Kos.
Iya, kalu sempat main lagi ke sini,” ucapnya.
Akhirnya, saya merapat lagi ke Semanggi, Ciputat. Ya, masih tetap di Ciputat sebab kota ini seperti medan magnet semua aktivitas saya dan kawan-kawan, kuliah dan kerja. Puji Tuhan, kami dapat kosan Rp 700 ribu perbulan, tanpa pisah biaya listrik lagi, air bersih, tiga petak, dapur, satu kamar mandi, dan teras cukup luas untuk parkir motor. Sampah kosan pun diangkut petugas kebersihan setempat. Ditawari kasur gratis, lemari gratis, dan tentu kenal anak Ibu kos yang cantik lagi baik hati. Saya panggil dia Bu Presdir, sebab selain getol ingatkan bayar kosan, dia juga membolehkan telat bayar.
Tak lama dengan kesenangan itu, sebuah apartemen 18 lantai tengah di bangun tepat 5 meter di samping kosan. Hanya terpisah tembok tipis dan pagar kawat besi, ditambah debu coran bangunan hasil geber kerja 24 jam sehari, bising mesin beratnya, dan sinyal HP yang langsung SOS seperti kawasan bebas sinyal. Kini mencuat isu baru, pihak pengembang sedang negosiasi harga pembebasan lahan warga dan penggusuran. Duh, apa iya harus pindah lagi? Nasiiib.


Baca Selengkapnya >>>
2 komentar
Setir bus Koantasbima 102 (Ciputat-Tenabang) yang yang tak layak guna (foto: dokumen pribadi)
-------------------------

Sudah rahasia umum, sengkarut moda transportasi umum di Jakarta selalu jadi perbincangan hangat di ruang publik. Persoalan moda transportasi umum yang saban hari selalu kita jumpai, mulai dari minimnya jumlah moda angkutan operasional, moda transportasi yang sudah kolot dan tak layak jalan, stasiun dan halte pemberentian yang kurang layak, perilaku berkendara yang serampangan, hingga kebijakan penyelesaian yang tak kunjung temu titik terang, menjadi pusaran yang membelit aktivitas masyarakat.
Apa buktinya? mungkin sebagian dari kita, punya pengalaman tak sedap menyoal transportasi umum ini. Khususnya di Jakarta, saya punya pengalaman yang tak menyenangkan, tak memuaskan, saat menggunakan trasnportasi umum. Di sini, saya lebih khususkan lagi pengalamannya terkait pelayanan bus antarkota dan minibus sejenis Metromini, Kopaja dan Koantas Bima.
Sebagai pecinta moda transportasi umum, saya lebih sering bepergian dengan memanfaatkan layanan transportasi umum. Bus Transjakarta, misalnya. Bagi saya, selain Transjakarta punya jalur khusus, pelayanannya terbilang cukup baik, namun persoalannya ada pada perawatan bus yang mungkin kurang maksimal.
Pernah suatu hari minggu di tahun 2012, banyak masa berkeburutan di bundaran HI karena sibuk bantu memadamkan bus Transjakarta yang terbakar, sebisanya. Lain kejadian, saat menuju Taman Impian Jaya Ancol dari Halte Senen, bus Transjakarta yang saya tumpangi menabrak taksi dari arah berlawanan. Sopirnya ugal-ugalan, walhasil ringsek depan bus dan bagian depan taksi rusak parah. beruntung, tak ada korban luka-luka dan meninggal.
Tak hanya itu, besar ruang halte yang belum cukup menampung volume penumpang yang mengantri, melengkapi fenoma karut-marut manajerialnya. Halte Harmoni misalnya, hampir setiap hari, berdesakan penumpang di sana yang juga dihadapkan pada sikap ketus para petugas Transjakarta. Husnudhon saya, mungkin petugasnya kecapean, jadi ya sesekali jutek bin ketus. Dimaklum, deh.hehehe.

Ada lagi yang lebih mengkawatirkan plus memalukan. Minibus seperti Kopaja, Metromini, dan Koantas Bima, banyak yang tidak terawat namun dipaksakan beroperasi di jantung ibukota hingga mengitari pesisir Jakarta dengan tingkat polusi tinggi, dan perilaku supir yang kadang mengabaikan keselamatan penumpang. Buktinya sangat banyak, setidaknya berdasarkan kumulasi pengalaman saya sendiri.
Suatu hari di awal 2013, saya pulang kantor. Niat berhemat, saya urungkan naik taksi dan beralih ke Koantas Bima 102 dengan rute Tanah Abang- Ciputat. Di halte tikungan Hotel Mulia, saya dan beberapa orang menunggu Koantas Bima 102. Tak lama, kita berlarian berdesakan masuk minibus itu. Seketika, saya lega karena sudah di dalam bus, meskipun berdiri. Tapi saat menyadari suana dalam bus, saya jadi was-was, malah khawatir keselamatan diri dan penumpang lainnya lantaran supir ngebut sepanjang jalan Gelora-Senayan City.
Supir asyik teleponan sambil ngebut dan sesekali marah-marah sama cewek yang ada di ujung telepon, yang dibilangnya “sayang”. Logat batak yang kentara, volume bicara yang keras, makin mendramatisir suasana. Belum lagi ulah kernetnya yang gelantungan di sisi pintu sambil teriak-teriak “terus, terus, terus, kiri kosong, majuuu woooi, bablas piiir,yiiihaaaa…dll” (terkesan akrobatik banget, memang). Mirisnya, kernet itu seorang bocah. Saya taksir, dia masih diusia 10-12 tahun.
Nasib nahas tak sampai di situ. Di depan mall Pondok Indah, semua penumpang dimigrasikan ke bus lain yang jelas-jelas beda jurusan meski melintasi sebagian rute Koantas Bima 102 itu. Misalkan, penumpang dipindahkan ke Bus Metromini 72 jurusan terminal Lebak Bulus-Blok M, lintas rute pondok indah. Alhasil, penumpang yang ke Ciputat mesti naik angkot lagi, tentu nambah ongkos lagi. Bukan satu dua kali perilaku migrasi penumpang oleh para supir ini, tapi sepanjang enam tahun di Jakarta, saya sering mengalaminya. Jadi, ini seperti kebiasaan buruk yang termapankan.
Menyoal perawatan bus, saya punya cerita sendiri. Di bulan puasa 2012, saya harus tiba di kantor jam 5 sore. Saya putuskan naik Koantas Bima 102 dari Ciputat jam 3 sore, perkiraan bakal sampai jam 5 teng. Tapi, perkiraan saya meleset jauh. Saat bus melintas area Radio Dalam sembari ngebut, tiba-tiba bus oleng dan besi penyambung antara ban bagian kanan & kiri copot, baut besarnya pun patah, murnya lepas. Seketika supir rem mendadak dan semua penumpang panik berhamburan keluar. Untungnya, bus tidak terguling. Keesokannya, sepulang kantor jam 9 pagi, kejadian hampir serupa terjadi. Baut besar di ban Koantas Bima 102 lepas lagi, kejadiannya di tikungan Hotel Mulia. Anehnya, polisi di TKP tidak berbuat banyak, bahkan tidak memeriksa surat jalan supirnya.
Kualitas pelayanannya semakin memburuk saat kondisi dalam bus begitu semrawut dan kotor. Ada bagian dalam atas bus yang sudah copot, tapi direkatkan lagi dengan solasi. Punggung kursinya pun bolong, sebagian kursi sengaja dicopot supaya bisa menambah quota berdiri penumpang (otomatis, banyak pemasukan), kaca retak juga direkatkan dengan solasi, pintu bus yang sudah dol alias tak bisa dikunci lagi, kaca pintu pecah bahkan ada yang tanpa kaca pintu, kemudi bus yang sudah kelihatan tua, besi badan bus yang sudah karatan, dan kualitas mesin yang bisingnya “minta ampuuun”.

Perilaku berkendara juga jadi perhatian khusus. Tak hanya Koantas Bima 102 & 510, tapi Kopaja P20, Metromini 72 & 610, juga Bus 76 yang kesemuanya bermarkas di terminal Lebak Bulus dan Ciputat, kadang mengabaikan pelayanan dan keselamatan penumpang. Perilaku supir saat mengemudi jauh lebih buruk dari yang diharapkan. Ada yang nyupir sambil teleponan, ada yang sibuk godain penumpang (khususnya cewek-cewek cantik), eh tau-taunya nabrak dan bikin macet. Ada yang sambil merokok tanpa rasa bersalah karena sudah meracuni penumpang, ada yang ngebut gak ketulungan parahnya sampai menyisir trotoar, juga tidak menjaga jarak aman antarkendaraan di jalanan.
Terakhir, hal yang disorot dari pihak pengelola yaitu ketepatan waktu dan keamanan. Okelah, soal ketepatan waktu gak usah dibahas karena macet hampir di seluruh Jakarta. Tapi keamanan adalah faktor penting yang mesti bicicarakn solusinya. Saat di bus atau minibus, kadang pengamen masuk dengan kondisi memprihatinkan. Saya tidak menolak pengamen, tapi kalu mengamen sukarela tanpa memaksa untuk diberi, itu yang saya maklumi. Lain orang lain cara, saat generasi gepeng (gelandang, pengemis, pengamen) masuk bus, ada yang ala preman menyayat tubuh dengan silet supaya penumpang takut dan akhirnya memberi uang. Saya tidak menolelir mereka, sekalipun dipaksa.
Terlepas dari semua itu, kita tidak bisa serampangan menyalahkan pihak pengelola. Terkadang, perilaku penumpang juga yang memungkinkan pengelola merasa betah dengan buruknya sistem yang sudah termapankan di jalan. Misalkan, banyak penumpang hanya menurut pindah bus saat dimigrasikan. Padahal, kalaupun dilawan dan tidak ada yang mau turun pindah bus, mau tak mau bus akan lanjut lagi. Pada akhirnya, sebagai penumpang kita juga mesti kritis terhadap keadaan transportasi umum yang tersedia.


Baca Selengkapnya >>>
0 komentar
Banjir yang mulai berangsur surut, terlihat warga tengah membersihkan area Mushollah Raudlatul Jannah, Ahuru. Sumber foto: Wahab Rumakat, Ambon
-----------------------
Dua hari belakangan, curah hujan di Kota Ambon terus meningkat. Kabar terbaru, sejak pukul 20.00 WIT malam tadi, hujan deras kembali mengguyur kota Ambon mengakibatkan banjir di beberapa wilayah. Sementara, warga diungsikan ke dataran yang lebih tinggi. Mendengar kabar ini, saya langsung konfirmasi pada keluarga di Ambon lewat BBM dan Telepon.
**********
Berdasarkan penuturan Abdul Wahab Rumakat di Ahuru, Ambon, bahwa hujan deras sejak pukul 8 malam waktu setempat mengakibatkan banjir yang merendam sekitar 63 rumah di kawasan Ahuru, Ambon dengan ketinggian air bervariatif di kisaran 2-4 meter. Warga sudah diungsikan ke dataran yang lebih tinggi oleh petugas TNI Yonif 611 Awang Long Ambon dan ditempatkan di rumah warga lainnya yang masih aman dari terjangan banjir.
Sementara itu, ada beberapa warga yang masih memilih bertahan di rumah untuk menyelamatkan barang berharga dan perabotan rumah sebisa mereka. Keluarga dari Wahab Rumakat yakni Arifin Rumakat terpaksa menjebol tembok rumahnya untuk menyiasati saluran genangan air lantaran volume air terus meninggi.
Rumah Arifin yang terpaksa dijebol… Sumber: Wahab Rumakat, Ambon
--------------------------

Tak hanya rumah warga, banjir yang juga terjadi di kawasan lain seperti Batu Merah, sekitar jalan utama Jenderal Sudirman yang menjadi penghubung sejumlah kawasan di kota Ambon juga lumpuh akibat terjangan banjir. Dari hasil pantauan Wahab Rumakat beserta tim, bajir sudah meluber hingga ke fasilitas umum seperti di area Masjid Raya Alfatah, air juga masuk ruang rawat pasien Rumah Sakit Tentara hingga membuat panik petugas dan pasien.  Ketinggian air di lokasi sekitar 30 sentimeter. Update terbaru, terjadi longsor yang menewaskan seorang pemuda, sementara 3 orang lainnya di lokasi berhasil diselamatkan.
Selain itu, berdasarkan perkembangan informasi yang dilansir dari media mainstream, sejumlah titik banjir terparah terjadi di daerah tepi sungai sekitar sungai Wae Hatu dan Wae Tomu, juga area kali- kali berukuran kecil. Meski banjir hampir merata di sebagian pusat kota Ambon, hingga saat ini belum ada laporan korban jiwa akibat banjir tersebut. Belum diketahui, berapa kerugian yang diakibatkan bajir kali ini. Pada Agustus 2012 lalu, Ambon juga pernah diterjang banjir besar. (SR)
Rumah Sakit Tentara yang mulai digenangi air… Sumber foto: Wahab Rumakat
 Warga yang terlihat di lokasi banjir. Sumber foto: Wahab Rumakat
Warga siap mengungsi… Sumber foto: Wahab Rumakat
Baca Selengkapnya >>>
0 komentar

Menyimak situasi politik Indonesia saat ini, tampak ada tiga fenomena yang menonjol jika dipotret dari perspektif komunikasi politik. Pertama, praktik demokrasi prosedural yang membuka ruang-ruang ekspresi dan partisipasi politik masyarakat.
Hal ini dimulai sejak transisi dari otoritarianisme Orde Baru ke era demokrasi elektoral yang berjalan hingga sekarang. Fenomena ini melahirkan beragam manuver,rivalitas dalam perumusan regulasi untuk saling mendukung atau menundukkan. Kontestasi politik ini menyuburkan basis komunikasi politik sebagai kebutuhan di hampir seluruh tindakan aktor.
Kedua, banyak perkembangan baru yang muncul dan menjadi penanda modernisasi di bidang komunikasi politik. Misalnya, penggunaan sosial media dalam menyosialisasikan ide,gagasan dan sikap para aktor politik. Mewabahnya penggunaan Twitter, Facebook dan sejumlah sosial media lainnya oleh para politisi,membuat lingkup komunikasi politik semakin luas.
Bahkan,fenomena protes di cyber pun kian menggejala meski belum nampak matang sebagai gerakan hacktivist yang menentang superioritas rezim kekuasaan dan korporasi seperti dilakukan Wikileaks. Di buku karya Gun Gun Heryanto ini beberapa kali fenomena ini disebut sebagai third age of political communication.
Ketiga, tumbuh suburnya industri di seputar komunikasi politik. Misalnya, media massa, konsultan komunikasi politik, agen publisitas,profesional PR (public relation) politik dll. Kerap menjamurnya industri komunikasi politik ini masih ditandai oleh kegagapan kita akan fenomena ini. Misalnya, terkait dengan aturan main soal publikasi hasil riset opini publik melalui media yang hingga kini masih belum jelas.
Panggung politik Indonesia terutama yang dibingkai oleh media pun kerap hanya menyajikan hyperealitas politik yang berlebihan. Jika ditelisik, benang merah pemaparan Gun Gun nampak memosisikan beragam peristiwa politik sebagai hal yang berpola. Banyak kesamaan pola peristiwa meskipun antara satu peristiwa dengan peristiwa lain terjadi dalam waktu berbeda dan memiliki sejumlah aktor yang berbeda pula.
Misalnya saja konflik elite yang melibatkan partai politik, motif dan modusnya sering kali memiliki kesamaan dengan peristiwa di masa sebelumnya. Relasi kuasa yang dibangun antar aktor pun kerap berkisar dalam model-model relasi yang hampir sama. Dalam konteks inilah buku karya Gun Gun sebagai akademisi yang consern dengan isu-isu komunikasi politik di Indonesia ini mendapatkan tempat istimewa.
Kita senantiasa butuh sebuah dokumentasi yang memotret dinamika yang terjadi di masa lalu, sekarang dan prediksi mendatang. Dalam buku ini setidaknya penulis menggarisbawahi dua hal penting. Pertama, pentingnya membumikan literasi politik sebagai bauran pengetahuan, skill dan sikap politik. Gun Gun menilai, literasi politik sebagai gerakan evolutif merupakan simpul kekuatan civil society. Literasi ini dimaksudkan untuk membaca kamuflase politik elitis di tingkat eksekutif, legislatif, dan yudikatif, sekaligus menghindari dominasi politik kartel yang pekat dengan praktik kolusif.
Kedua, pentingnya asketisme politik sebagai laku para aktor. Asketisme politik dipahami sebagai upaya menjalankan aktivitas berpolitik berdasarkan prinsip kesederhanaan dan etika serta memproyeksikan tindakannya demi kemaslahatan rakyat banyak. Caranya, berpolitik tidak dengan mengedepankan kepentingan mengejar kekuasaan melainkan demi kemaslahatan bangsa dan negara.
Artinya, asketisme politik diarahkan untuk meningkatkan “kesalehan”berpolitik baik di tingkat pribadi maupun institusional. Pemikiran analitis yang dibingkai dalam tujuh bab bahasan di buku ini menyoroti beberapa peristiwa dengan cukup detil dan memadai, mengacu pada momentum peristiwa politik yang hangat dalam diskursus media. Pada bab pertama, penulis menyoroti manuver politik dan kontestasi parpol.
Di bagian pertama ini, penulis menyajikan ulasan seputar manuver partai politik dalam kontestasi demokrasi. Di bab kedua,penulis membahas citra DPR. Bagian ini memotret berbagai peristiwa konflik, inisiatif,produktivitas kerja dan respons khalayak terhadap para politisi DPR. Bahasan bab ketiga secara khusus menyoroti performa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam kapasitasnya sebagai Presiden Indonesia yang telah terpilih dalam dua kali pemilu.
Bab keempat mengulas posisi media dalam politik. Penulis menawarkan solusi atas dinamika komunikasi politik kita dewasa ini pada bab kelima. Secara khusus, penulis menyoroti rivalitas dalam regulasi politik dalam bab keenam,di mana paket rancangan undangundang mengenai nasib politik bangsa dikoreksi dengan detil.

Judul Buku : Dinamika Komunikasi Politik
Penulis : Gun Gun Heryanto
Editor: Shulhan Rumaru
Penerbit : PT. Lasswell Visitama, Jakarta
Tebal : xvi+ 324 halaman
Terbit : Desember 2011

Resensi ini dipublikasikan di Koran SINDO, 11 Desember 2011, Peresensi adalah Shulhan Rumaru, Peneliti The Political Literacy Institute, Jakarta.


Baca Selengkapnya >>>
0 komentar

Nenek Enot dan uang 3,5 juta miliknya. Ilustrasi dari Facebook Miftahul Huda, Kepala Seksi Penertiban dan Rehabilitasi Sudinsos Jaksel
***********
Belum lama ini, ramai berita di media arus utama (mainstream media) tentang penertiban para gelandangan, pengamen, dan pengemis (GEPENG) oleh Suku Dinas Sosial (Sudinsos) DKI Jakarta. Dalam operasi menjaring Gepeng ini, Sudinsos DKI dikejutkan dengan jumlah uang yang dimiliki para Gepeng tersebut. Khususnya para pengemis di DKI Jakarta bisa berpenghasilan 700 ribu per hari. Jika dikalkulasikan dalam sebulan, penghasilan mereka tentu melebihi rata-rata penghasilan para buruh pabrik, mahasiswa fresh graduate, atau karyawan biasa yang masih di level mekanistik.
Tentu, ini persoalan klasik karena dari tahun ke tahun jumlah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) alias Gepeng bertambah. Bahkan, di momentum-momentum tertentu, jumlah mereka bisa naik berkali-kali lipat. Pada 2008 silam, di salah satu panti sosial di Jakarta mengalami overload lantaran jumlah PMKS/Gepeng terus meningkat. Biasanya, jumlah PMKS mencapai 400 orang, namun di bulan puasa meningkat menjadi 900 orang. Bahkan, Mensos Salim Assegaf pada Juli 2013 lalu mengatakan, jumlah PMKS/Gepeng pada bulan biasa mencapai 1000 orang, namun meningkat menjadi 6000 orang di bulan puasa.
Terlepas dari data dan fakta di atas, dalam keseharian, Saya juga seringkali bersinggungan dengan para PMKS ini, terutama saat berkeliling Jakarta dengan menggunakan transportasi massal seperti angkot, kereta api, bus, maupun minibus. Semua moda trasnportasi tersebut, selalu bebas dimasuki para PMKS/Gepeng. Lebih sering, mereka yang mengamen. Tak hanya itu, terkadang di tepi mall dan kampus pun sudah disusupi para PMKS ini. Saya jadi berpikir, ini bukan masalah biasa karena sudah seperti jejaring PMKS yang sengaja ditebar di berbagai titik penting untuk menggugah rasa kasihan/ empati dan simpati orang lain sebagai ladang rejeki.
Pada 27 September pekan kemarin, Kepala Seksi Penertiban dan Rehabilitasi Sudinsos Jaksel Miftahul Huda mengunggah foto seorang pengemis yang berhasil dijaring Sudinsos Jaksel di depan Pasar Mampang Prapatan. Pengemis itu punya uang sejumlah Rp3.500.000 dalam karung yang dia bawa. “Seorang pengemis setelah diamankan oleh petugas ternyata di tasnya ada uang Rp 3.5oo.ooo. Luar biasa,” tulis Kang Huda pada bagian keterangan fotonya. Sontak saya terkejut, “Serius, Kang?” tanya saya di FBnya. “Kalau gak serius ya gak saya posting, Kang,” jawabnya.  Wow, saya cuma bisa geleng kepala, masih tidak percaya dengan uang sang pengemis. Saya langsung ingat Perda Khusus DKI nomor 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum, Bab VIII terkait Tertib Sosial, pasal 39-40, yang membahas larangan menjadi, menyuruh, dan atau memberi pada Gepeng/PMKS.
Terkait perda ini, sempat di tahun 2008 saya beserta teman-teman di Lembaga Pers Mahasiswa Tabloid Institute UIN Jakarta mengulasnya dalam liputan khusus (Lipsus), mulai dari ruang hijau tata kota, tertib lalu lintas, jalur umum, termasuk mengupas tuntas aplikasi perda ini terkait Gepeng, juga sisi humanis para Gepeng. Saat itu, saya wawancara beberapa pengemis dan pedagang asongan di Pasar Jumat, Lebak Bulus, Jaksel. Seorang pedangan asongan, sebut saja AH, mengaku 15 tahun menjadi pedangan asongan. Dia mampu mencukupi keperluan keluarga di kampungnya, Tasikmalaya, membangun rumah, dan menyekolahkan anak.
Lantas saya tanya lagi, kenapa tidak coba profesi lain? “Saya bisanya ini. Keahlian lain tidak punya. Ini aja resikonya dikejar-kejar Satpol PP, ditendang, sempat dipenjara 1 hari,” akunya. Dalam sehari, dia bisa kantongi 200-300 ribu, tentu jualan dari pagi sampai malam. Dia juga punya bos yang sudah menyediakan semua keperluan “mengasong” ini, dan setoran sekitar 70 ribu. Tentu, si bos punya banyak pekerja asongan. Tetap untung meski setoran hanya kisaran 70 ribu.
Lain dengan seorang pengamen dan pengemis di dekat kampus UIN Jakarta (Ciputat). Waktu itu saya cukup rajin memberi si pengamen, terutama pas makan siang di kantin samping kampus. Ternyata, saat saya hendak sholat Ashar, saya bertemu si pengamen sedang menyalakan motornya, terlihat baru dan kinclong. Sontak, saya kaget. “Mas, ngapain di situ?” tanya saya…”Eh, mas. Saya mau pulang dulu,” jawabnya singkat sambil melempar senyum. “Oh My God,” saya tidak bisa berkata lagi, terperanga. Kalau si pengemis, saya beri ongkos pulang plus uang saku sedikit saja karena katanya nyasar dan tak bisa pulang ke Bogor. Esoknya, saya jumpa dia lagi sedang modus ngemis ke yang lain. Et dah, capek deh, ketipu lagi saya.hehehe.
Penerapan Perda
Saya punya kesempatan mewawancarai Budi Rahman Hakim (BRH) yang saat itu menjabat Direktur Perusahaan Rakyat Merdeka Group. Selain sebagai pemerhati lingkungan dan mendirikan sekolah berbasis lingkungan di BSD City, dia juga alumni LPM Institute, jadi lebih muda dapat waktu wawancara ekslusif. Dalam sedan mewah miliknya yang melaju sepanjang jalan menuju Dinsos DKI Jakarta karena diundang sebagai pembicara, saya dan seorang kawan bertanya panjang lebar soal lingkungan hijau Jakarta.
Menurut BRH, Jakarta sudah saatnya meniru beberapa kota maju di dunia seperti Beijing di Cina, dan beberapa kota besar Australia yang sudah memodifikasi lahan hijau kota lebih asri dan sangat baik. Dia berharap, Pemda DKI tegas menjaring para Gepeng, namun disertai pembekalan keterampilan diri dan lapangan usaha agar mereka tidak kembali ke jalan pascaditangkap. Intinya, memberdayakan para Gepeng, terutama di sektor ekonomi yang bisa mencukupi kehidupan para Gepeng dan keluarga kecil mereka. Namun, sampai berakhir masa jabatan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, Jakarta masih belum berubah.
Pada 2 Oktober kemarin, saya kirim pesan ke inbox FB Kang Huda untuk bertanya seputar pengemis bernama Enot yang punya uang 3,5 juta dalam karung. Sebagai Kepala Seksi Penertiban dan Rehabilitasi Sudinsos Jaksel, tentu Kang Huda tahu betul soal penjaringan para Gepeng, termasuk nenek Enot yang berusia 71 tahun itu. Nenek Enot asal Rangkasdengklok, hidup nomaden, dan saat ini sudah diserahkan ke panti sosial oleh Dinsos DKI Jakarta.
Menurut Kang Huda, untuk mencegah para Gepeng, masyarakat harus sadar diri untuk tidak mudah memberi. Hal ini terkait, mental pengemis yang apabila diberi, akan semakin keasyikan mencari rejeki dengan jalan mengemis. “Kesadaran warga untuk tidak membeli dan memberi di jalan. Kalau warga gak ngasih ya gak ada pengemis,” ungkapnya. Lanjutnya, pengamen dan pengemis yang berhasil dijaring akan diserahkan ke panti sosial yang khusus menangani hal ini, atau dikembalikan pada pihak keluarga jika para Gepeng masih punya sanak keluarga. “Kalau ada keluarganya, dikembalikan. Kalau gak ada, ya dibina di panti,” jelas Kang Huda.
Sementara itu, berdasarkan keterangan Ibu Marwi Mar kepada saya melalui jejaring sosial Facebook, bahwa para Gepeng yang usia sekolah dikirim ke panti sosial asuhan anak. Di sekolahkan hingga SLTA dan diberi ketrampilan otomotif, tata busana, tata boga, dan montor. Lalau bagaimana dengan para lansia? “Kalau lansia ke panti sosial Tresna Werda, dibina dan dilindungi… all service for lansia terlantar (sandang, pangan, papan, kesehatan ect ),” jelas Ibu Mar yang juga bekerja di Pemda DKI ini.
Permasalahan kesejahteraan sosial di Jakarta memang masih jadi pekerjaan rumah bagi Pemda DKI dan dinas-dinas terkait. Selain itu, tanpa mengabaikan keingin untuk berbuat baik pada sesama, kita juga perlu tahu secara strategis menempatkan bantuan agar tidak salah target kepada para Gepeng (terlebih yang punya jaringan/ semacam kartel bisnis para Gepeng) karena hal ini bisa mejadi zona nyaman bagi mereka, dan akan tetap bermental sebagai gelandangan, pengemis dan pengamen.
Bukan cuma itu, penertiban para Gepeng pun seharusnya lebih persuasif, agar tidak ada persoalan traumatik kekerasan atas nama Satpol PP sebagaimana pengakuan para Gepeng. Penangan pasca penangkapan pun harus baik agar mereka para Gepeng lebih merasakan kasih sayang sebagimana di rumah, bukan kasih sayang ala jalanan yang cenderung tanpa pengawasan.
“Dinsos punya 7 panti sosial untuk menangani anak terlantar dan anak putus sekolah. 5 panti sosial Tresna Wedha untuk membina dan melindungi lansia terlantar, 4 panti sosial yang menangani laras terlantar. Yang keseluruhan 27 panti sosial di Dinsos DKI.” Selain itu, para lansia terlantar yang diketemukan, atau masih punya keluarga, akan dikembalikan ke pihak keluarga,” tutup Ibu Mar.



Baca Selengkapnya >>>
0 komentar

Belum lama ini, ramai diberitakan seorang dokter berinisial FM disiram kopi panas dan dianiaya oleh pasiennya yang tengah berkonsultasi masalah hubungan suami Istri. Kronologi singkatnya, si pelaku HH menyiram kopi panas ke muka FM lantaran geram dengan FM yang sibuk ngetik di Blackberry Messenger dan tak memperhatikan apa yang diutarakan pasiennya. Tak hanya itu, dokter FM sempat bertanya hal yang membuat pasien HH merasa tersinggung.
Dalam versi lain, karena merasa terintimidasi, dokter FM sengaja menggunakan BB untuk merekam si pelaku yang berusaha mengintimidasi secara verbal, tapi nahasnya FM keburu disiram kopi panas. Insiden ini terjadi di RS Husada, Tamansari, Jakarta Barat (18/11/2013). Kini, pelaku sudah diamankan polisi (Berita disarikan dari berbagai sumber online mainstream).
Sejurus dengan insiden ini, saya juga mau cerita tentang sikap atau perilaku dokter yang kadang membuat pasien tak nyaman, bahkan tak menghormatinya. Belum lama ini, sekitar 17 Oktober lalu saya sakit gejala tipes dan terpaksa izin tak masuk kerja dengan niat ingin periksa kesehatan di rumah sakit atau klinik terdekat.
Awalnya, saya tetap paksakan diri masuk kerja pukul 01.00 dini hari - 09.00 pagi WIB karena memang jadwal kerja saya di bulan Oktober adalah shift pertama. Ternyata, sisitem imun saya menurun dan akhirnya saya sempat muntah-muntah di kantor lantaran demam tinggi, pusing-pusing, keringat dingin, nyeri diperut, mual-mual, susah BAB, dan nafsu makan menurun drastis.
Setelah pulang kantor, saya sempat istirahat dan sorenya saya ke klinik Cirieundeu di bilangan Sandratek, Ciputat. Di sana, saya cek darah dan diperiksa dokter. Hasilnya, dokter bilang “Mas, gejala tipes kamu kambuh lagi. Tolong dijaga pola makannya, dan sempatin olahraga. Bakteri tipes memang begitu, tidak bisa dibabat habis tapi dibuat tidur saja, sehingga suatu waktu bakterinya bisa bangun lagi kalau kita tidak pintar jaga kesehatan.”
Oke, dok. Terimakasih…
Saya tanya, “Dok, katanya mengobati tipes itu paling ampuh pakai cacing tanah, yah?”
Jawab dokter cantik ini, “Kalau itu, saya tidak tahu Mas, saya tidak diajari soal ituOh iya, ini resep obatnya langsung tukar ke apotik aja.” Tak lama, saya sudah ambil obatnya. Beberapa hari kemudian, saya tak jua membaik. Saya putuskan ke RS Fatmawati dengan maksud mendapat pemeriksaan yang lebih baik.
Tiba di RS Fatmawati, saya daftar dan tak lama saya didiagnosa oleh perawat. Setelah itu, saya diantar ke ruang dokter. Tak lama antre, saya dipanggil masuk ruang dokter.
“Sakit apa Mas?” Tanya dokter cantik berinisial SS ini.
“Sakit gejala tipes, kata dokter di klinik waktu berobat 3 hari kemarin,” terang saya. Sebenarnya saya agak heran dengan pertanyaannya karena seharusnya saya ditanya gejalanya sebagai proses diagnosa. Tapi entahlah, jadi saya jawab begitu saja.
“Sakit gejala tipes? Apa yang dirasa?” respon dokter SS.
“Saya meriang, mual, pusing, trus…”
“Ah, sakit biasa kali itu. Paling itu perasaan Mas aja,” potong dokter SS tanpa saya sempat lanjutkan gejala lainnya.
“Hah, sakit biasa? Kata dokter di klinik, saya gejala tipes dan sudah 3 hari konsumsi obat tapi belum membaik,” sangkal saya setengah bingung dengan sikap dokter SS yang seolah-olah meremehkan gejala sakit yang saya rasakan.
“Gak Mas, itu sakit biasa aja. Saya kasih resep obatnya,” katanya sambil menulis resep.
Saya makin heran, agak dongkol karena tanpa diperiksa lebih lanjut tapi langsung dikasih resep obat. Padahal, saya baru saja mau usul untuk dites darah biar lebih valid diperiksa apa benar gejala tipes atau sudah tipes.
Tiba-tiba, perawat yang mendiagnosa saya datang bawa berkas pasien berikutnya.
“Ini dok, ada tambahan pasien,” sambil meletakkan berkas pasien baru di sisi kiri dokter.
“Gila, gak enak banget dinas waktu libur begini, kapan gue liburnya,” ketus si dokter dengan raut wajah kesal karena ada tambahan pasien.
Bisa-bisanya dokter SS ngomong begitu. Padahal, di depannya ada saya sebagai pasiennya. Saya cuma bisa tarik napas dalam saat mendengar perkataan si dokter. Setidaknya, sikap sang dokter membuat saya merasa kena imbas dari mood jeleknya sehingga saya tidak diperiksa maksimal.
“Saya minta surat sakit dok, buat kasih ke kantor,” pinta saya biar bisa lekas keluar dari ruangannya.
“Oke, saya kasih sehari saja,” jawabnya dengan raut wajah yang tak lagi manis. Luntur cantiknya.
Alhasil, sepulang dari RS Fatmawati jam 8 malam, ternyata saya makin sakit dan obat yang dikasih tak berefek sama sekali. Malahan, jam 2 dini hari saya makin lemas, demam makin tinggi, muntah-muntah, dan akhirnya saya diantar teman ke RS UIN Jakarta masuk UGD. Dua katong infus habis sudah, diperiksa, cek darah karena kata dokternya takut ada indikasi ke liver dll sebab selama sakit saya muntah hampir 2x sehari juga nyeri uluhati.
Tiga jam di RS UIN Jakarta, saya dikasih obat dengan biaya 1,5 juta. Saya ditawari inap tapi saya tolak karena keluarga dari Bogor datang jemput, biar dirawat di rumah saja. Alhamdulillah, setelah 2 minggu istirahat, kesehatan mulai membaik. Saya putuskan balik ke Ciputat, ngantor lagi di Palmerah dan berkutat dengan ratusan tulisan warga yang silih berganti di CMS.
Dari pengalaman ini, menurut saya terkadang dokter yang moody bisa membuat citra buruk profesinya karena apapun yang dialami pasien bakal diceritakan ke orang lain. Apesnya, kalau penglaman itu kurang baik maka si dokter juga yang kena imbas. Meski begitu, kita sebagai pasien juga harus sabar bila ada dokter yang gampang ngambek, malas-malasan dan terkesan kurang serius menangani pasien. Biasanya, moody ini lebih gampang dialami dokter-dokter muda yang belum terbiasa dengan rutinitas profesinya atau dengan tekanan profesinya.
Selama pengalaman saya mewawancarai beberapa dokter, baik dokter di RS Fatmawati, RS Siloam sampai dokter yang buka praktik sendiri di klinik pun jarang terjadi hal serupa dengan apa yang saya alami di atas karena para dokter ini juga sudah kenyang makan asam garam profesinya. Rata-rata usia mereka juga sudah menginjak 40 tahun ke atas. Jadi saat wawancara, berasa ngobrol dengan ayah sendiri karena banyak ilmu yang mereka transfer ke saya dan memberi rasa nyaman. Sebagai orang awam dunia kedokteran, tentu sikap dokter seperti itulah yang saya harapkan. Semoga insiden siram kopi dan hal-hal tak sedap lainnya jangan lagi terulang. Dokter dan pasien bisa lebih saling pengertian.
Biar ada hiburan, ini kisah dokter dari Papua, MOP: :)

Baca Selengkapnya >>>
0 komentar