Sebagian orang keganjenan mengumbar pesimisme di media sosial, getol menebar postingan propaganda dan rajin beragitasi atas perkara baik yang dicapai bangsa ini.

Entah! Kritisisme model apa yang tengah mereka orkestrasikan. Justru, nampak bak nyinyirisme. Bukan cuma split otak, jadinya malah kegersangan nasionalisme, paceklik humanisme, dan terjebak sektarianisme akut.

Implisitnya, mereka bilang itu sayang. Padahal, itu mengganyang. Katanya itu refleksi. Padahal, itu ambisi tuk mereduksi kekitaan yang selama ini lazim kita sebut Bhineka Tunggal Ika. Mereka betah bermain diksi yang destruktif, juga berupaya mengendapkan kebencian antarsesama sampai tiba waktunya tuk dikonversi.

Disadari ataupun tidak, mereka telah dijadikan mesin industri kebencian. Memproduksi kedengkian demi pemuasan hasrat dan ekstasi kuasa secuil elite.

Kalaulah revolusi mental belum sanggup menggugah optimisme berbangsa, sebaiknya ada upaya Renovasi Otak laiknya syair-syair manis Dialog Dini Hari. Na'am, renovasi saja biar tak kusut, supaya tak kaku.

Mengubah tabiat "sharing without reading & thinking" memanglah tak segampang mengedipkan mata, pula tak seujug-ujug jatuh hati pada senyuman Raisa yang presisi. Butuh latihan dan pembiasaan. Jadi, mari mulai dari diri sendiri. Tentunya, termasuk saya.

Sini! Sama-sama mendiagnosa diri. Mengidap tipe manakah kita dalam bermedia sosial. Ada 4 tipologi pengguna internet (baca Gun Gun Heryanto & Shulhan Rumaru, Komunikasi Politik Sebuah Pengantar; 176):

1. Diseminator. Cenderung tertarik pada isu harian, strategis, & jangka panjang. Tipologi ini senang berbagi dan berjejaring. Suka chit-chat di postingan teman bahas isu politik terkini, harga sembako, hingga menertawai nasib jomblowan-jomblowati.

2. Publisis. Perkara narsis dan ekspos kesibukan, nah, tipe ini juaranya. Pokoknya, seng ada lawang alias gak ada tandingannya. Kepentingan mereka adalah mengonstruksi citra diri/lembaga dan merawat eksistensinnya.

Jadi, jangan heran, ya, kalau ada emak-emak kekinian unggah foto ber-caption "kinclong juga muka gue pake bedak merk nganu. Produk lipstiknya nganu juga oke. See, bibir gue kek cabe merah. Hottt!!!"

Plisss, gak perlu hujat mereka, apalagi dengan dalih mengumbar aurat. Percaya, mereka hanya mempercantik diri biar para suami tak gampang menumpahkan sperma di lubang  yang baru (sorry, gak seremeh ini, sih).

3. Propagandis. Nah, ini biang keroknya. Mereka fokus pada isu strategis. Bisa berdampak delegitimasi atau legitimasi. Jadi, patut diwaspadai dramatisasi kebencian terhadap pemerintah, nasionalisme, dan kedaulatan NKRI, juga kritik yang tak konstruktif.

Pemerintah, memang tak boleh dibiarkan imun terhadap kritik sebab dapat melahirkan tirani. Tapi kalau kritisisme dibiarkan serampangan dan tak beresonansi, itu sama saja kita mempersiapkan panggung kesewenangan.

Jika terpaksa mengkreasikan propaganda, buatlah white or gray propaganda yang porsi faktanya banyak, dapat diverifikasi publik, lalu ditaburi sedikit topping hiperbola.

Ingat! Hindari propaganda hitam sebagai alat gebuk, sebab sama sekali tak mengoreksi apa-apa selain memperkeruh situasi. Dan saat ini, kita menghadapi tantangan itu, industri kedustaan dan kebencian yang disuplai lewat media sosial.

4. Hactivist. Ini pasukan elit. Kelompok khusus yang mempersiapkan perlawanan terhadap pemerintah atau kelompok legal dengan memasifkan isu sensitif, meretas informasi rahasia.

Kartu joker para elite boleh jadi ada di tangan mereka dan kerap kali dijadikan alat negosiasi dan barter. Tak melulu begitu, sebagian malah dibuka untuk publik, seperti Julian Assange dengan Wikileaks yang membobol kawat diplomatik Amerika Serikat.

Pertanyaannya, kita termasuk tipologi yang mana, 1, 2, 3, atau 4? Dan mulai sekarang, bijaklah bermedia sosial. Jangan keganjenan berbagi tautan di kanal medsos tanpa memverifikasi. Berkali-kali kita tebar haox, maka kita turut mentransformasikan ideologi para pemecah-belah. Tega Anda?

Saya berharap, Anda bukan si propagandis "panasbung" yang sudi menggadai kemesraan ini hanya dengan sejumlah rupiah.

Yakinlah, turbulensi bangsa ini hanya bisa terjadi kalau saya juga Anda mudah terprovokasi kebencian dan bersikap bebal pada perbaikan. Berharap perubahan tapi berpikir delusif? Itu naif.

Mari, kawan! Berpikirlah tanpa kejumudan, bergeraklah tanpa kekerasan, dan bermanfaatlah untuk kekitaan.


Baca Selengkapnya >>>