Pagi itu, udara di desa begitu dingin dan terasa menyergah hingga sumsum. Aroma khas udara pegunungan, kicauan aneka burung di balik rerimbunan hutan, ditambah irama deburan ombak musim timur, benar-benar menjadi pembuka hari yang berbeda dari biasanya. Perlahan saya mengamati suasana sembari mengedar pandangan ke sekitar rumah, menghela oksigen sebanyak-banyaknya dengan satu tarikan napas panjang lalu menghebuskannya lewat mulut. Saya melakukannya berkali-kali, dan dada saya terasa begitu lega melompong.
Tak lama, beberapa kawan dari Pecinta Alam Desa Kwaos (Kompak) datang dan meminta segera bersiap-siap karena agenda muncak ke gunung Samin dimajukan hari itu juga. Padahal, kegiatan muncak semula dijadwalkan pekan depan seusai kegiatan kepemudaan di desa. Namun karena perhitungan kondisi cuaca pegunungan yang kurang bersahabat, akhirnya dimajukan.




Alhasil, saya bawa bekal sealakadarnya saja. Tentunya, bekal khas orang Ambon yaitu sagu, ikan julung kering, cabai, garam, kacang telor, sebotol air mineral. Sekilas, bekal ini cocoknya bukan ke gunung tapi piknik ke pantai, hehehe. Saya juga gak lupa bawa obat-obatan. Kalau kawan-kawan lain, mereka bawa beras 3 kg per orang. Di luar logistik, ada yang bawa parang, panci, korek gas, senter, tali, terpal, gitar, bendera Indonesia, dll.
Awalnya saya khawatir, sebab ini baru pertama kali saya ikutan kegiatan muncak dan katanya medan ke puncak Samin cukup terjal, jauh, dan cuaca di gunung tak kondusif. Tapi karena jumlah kita cukup banyak sekitar 26 orang yang penasaran menaklukkan puncak Samin, jadinya saya juga bersemangat.
Sekilas tentang Gunung Samin ini, ia terletak di antara gunung-gunung di petuanan Kwaos, dataran Hunimua, Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT), Maluku. Ada beberapa gunung yang melingkar membentuk kubangan raksasa, lalu Gunung Samin berada tepat di dalam kubangan tersebut. Meski dalam kubangan, tinggi gunung Samin hampir setara dengan gunung-gunung di sekitarnya. Dalam perkiraan saya, ketinggian gunung Samin mendekati 600 mdpl. Memang tidak terlalu tinggi seperti rata-rata gunung di Pulau Jawa tapi tetap menarik didaki karena merupakan tipikal gunung basah atau lembap.



Tepat jam 6 pagi, kami sudah berkumpul di depan komplek sekolah SDN Desa Kwaos. Panitia mulai memberi pengarahan agar semua tetap dalam satu komando saat perjalanan, dan tiap orang diminta memastikan semua bekal sudah terbawa. Yang lebih penting, kami diharuskan bersikap bijak dan tidak bertingkah aneh selama menjelajah hutan, sebab diyakini area hutan Gunung Samin terdapat banyak keramat.
Kami keluar di ujung kampung untuk menembus rimba petuanan Kwaos (istilah petuanan adalah kawasan/wilayah kekuasaan, dalam hal ini raja Desa Kwaos). Selepas 20 meter dari ujung kampung, saya merasa sudah tenggelam dalam hutan belantara. Maklum saja, jenis hutan di sini adalah hutan hujan tropis, jadi semua pepohonan dan tanaman tumbuh subur dan sangat lebat.
Sebelumnya, kami sudah janjian dengan Kena Din sang pemandu yang lebih dulu ke pos pertama, menunggu kami sekitar 2 kilometer ke dalam hutan. Soal jelajah hutan, Kena Din lah jagonya, sudah sangat tau seluk-beluk hutan di sini, bahkan dia sering dijadikan pemandu (guide) oleh Dinas Kehutanan Maluku maupun mahasiswa dari Pulau Jawa yang ingin penelitian atau muncak di salah satu pegunungan dataran Hunimua.
Setelah 35 menit perjalanan, kami akhirnya bertemu Kena Din di kawasan Kalapa Dua dan istirahat sekitar 5 menit. Di sini, Kena Din mewanti-wanti kami supaya saling sapa atau bersuara sebagai kode kalau berjauhan, memperhatikan tanda jalan yang sudah dibuat oleh tim yang duluan menyisir jalan, hati-hati kalau ada hewan liar seperti babi hutan, anjing hutan, maupun ranjau-ranjau untuk tangkap rusa. Terakhir, katanya dia khawatir kalau saya tidak kuat jalan. Hemmm, poin terakhirnya semacam pelecehan yang sistematis, terstruktur, dan massif, hahaha.
Kami langsung dibagi tiga kelompok, yang pertama tim sapu jalan, kedua tim logistik, dan terakhir tim sapu jagat. Karena target sampai ke pos istirahat sekitar jam 5 sore, maka kami harus berjalan cepat. Rute ke pos istirahat memang cukup jauh dan memutar, jadi kami harus jalan cepat. Pos sasaran berikutnya adalah Duran Lean, Tawerak Kapitang, gunung batu Kulbakarina, dan masih banyak pos lagi. Oh iya, ini bukan pos seperti di kawasan pendakian Gunung Semeru atau Gunung Rinjani. Ini hanya pos bayangan yang kami bikin sendiri untuk sekedar melepas lelah dan menghela oksigen.
Karena matahari makin meninggi sekitar jam 7.30 WIT, kami harus segera bergegas. Sebelum melanjutkan perjalanan, kami berhitung lagi untuk memastikan jumlah anggota tidak berkurang atau malah bertambah, hahaha. Menurut mitos di desa, biasanya ada “orang” atau makhluk astral yang suka menyembunyikan jalan di hutan sehingga tanpa terasa kita makin tersesat dari tujuan. Saya mulai parno, berasa seperti ikutan sebuah ekspedisi gaib, hahaha.
Kini kami mulai menjauh dari Kalapa Dua menuju kawasan Duran Lean. Dalam perjalanan, saya sibuk foto sana-sini karena memang sangat indah kawasannya, dipenuhi ribuan tumbuhan paku, jejak-jejak rusa dan babi hutan, juga bekas area yang terbakar hangus. Kami terus merangsek menembus rimba, betul-betul menerabas hutan, membuat tanda jalan sendiri dari patahan ranting, rotan atau batang kayu yang dikupas. Saya hanya membayangkan, andai saja tanpa guide, pasti kami sudah tersesat meski baru jalan 1 kilometer. Beberapa kali saya hampir hilang jejak karena salah membaca tanda jalan yang dibuat tim sapu jalan. Fatalnya, tidak satu pun dari kami yang bawa kompas.
Kami tiba di kawasan Tawerak Kapitang. Namun tanpa istirahat, kami langsung patah haluan menuju Kulbakarina. Jam di HP saya menandakan pukul 9, itu artinya butuh 2 jam perjalanan lagi. Ya, medan hutannya masih landai memang, tapi jauhnya itu yang gak nahan, rasanya pengen cepat-cepat sampai.
Tak lama lepas dari Tawerak Kapitang, udara sudah mulai dingin, cahaya matahari pun seperti terhalang lebatnya hutan, dan medannya mulai sedikit menanjak. Beberapa kali tim sapu jagat memberi kode suara, karena ketinggalan cukup jauh dari kawan-kawan logistik. Uoooooo, uoooo, uuuuuii…berasa tarzan deh pokoknya. Hahaha, dan kita pun silih bersahutan. Alhamdulillah, masih dalam radius aman karena ada balasan suara dari tim lain.
Kami mulai melintasi kali-kali kecil, mata air kecil, merangkak di bawah pepohon tumbang, dan sedikit menanjak. Pijakan batu-batu yang kurang kuat juga cukup merepotkan. Masalahnya, kalau salah berpijak, kita bakal menggelinding ke bawah. Medannya mulai terasa sedikit menguras energi. Di tengah jalan, Om Usman dan Om Tip memotong dan memikul sebatang kecil obat kuning. Katanya itu sejenis rotan kuning, dalam bahasa setempat disebut kayu Ara Kuning. Air hasil rebusannya diyakini sebagai obat kuning dll.
Pikir saya, kita baru saja menuju puncak dan pasti bakal repot kalau harus menambah beban. Benar saja, Om Usman mulai terkilir dan Om Tip sudah hosa gak karuan saat menanjak ke Kulbakarna. Safari yang juga ketua pendakian meminta mereka buang saja kayu obat itu karena puncak Gunung Samin masih sangat jauh. Sambil memastikan kondisi keduanya, kami lanjut jalan lagi dan tibalah di puncak Kulbakarina. Seketika lelah pun hilang, seperti tersihir pesona gua yang satu ini, menjulang sekitar 50 meter ke atas.



Untuk masuk ke dalam gua, kami harus menanjak dengan kemiringan sekitar 35 derajat dengan sedikit merangkak. Jalannya licin dan penuh dedaunan kering, salah langkah pasti tergelincir. Masing dari kami berpegangan pada batu-batu yang menyembul di balik timbunan daun-daun kering. Setelah sampai, masih butuh sedikit usaha lagi untuk masuk pintu gua, harus manjat dinding gua sekitar 3 meter. Di dalamnya, banyak kalong gelantungan, stalagmit dan stalagtit. Tak ada yang berani masuk lebih jauh karena kondisi gua sangat gelap.
Sekitar 20 menit di Kulbakarina, kami langsung tancap ke mata air di kaki Gunung Suru dan berencana makan siang di sana. Sampai di sana, kami bagi tugas, ada yang ambil kayu bakar dan memasak. Karena kita hanya bawa beras dan mie, saya pikir cuma itu menu makan siangnya. Ternyata, di luar dugaan saya, teman-teman sudahmanggurebe tangkap guran alias udang air tawar. Wow, akhirnya menu lunch kami kali ini, seafood.



Sambil nunggu menu racikan koki andalan si Gotam, saya narsis ria di mata air bersih yang langsung dialirkan ke kampung lewat pipa-pipa besar untuk digunakan warga. Di sekitar situ ada kolam air bersih alami lainnya yang dibilang Sefur Kapal. Tanpa menunggu lama, saya langsung terjun. Huh, segernya minta lagi, lagi, dan lagi. Dijamin ketagihan kalau berenang di sini. Selain jernih, air ini bisa langsung diminum. Oh iya, dinamai Sefur Kapal karena bentuknya seperti bumbungan kapal dan gemuruh angin di situ terdengar seperti suara kapal. Di zaman penjajahan, lokasi ini dijadikan tempat persembunyian warga.
Setelah kenyang, kami langsung lanjut perjalanan menuju puncak Gunung Suru dan Air Terjun Kelbasusah. Saya jadi gak sabaran karena ini spot yang paling saya tunggu. Dalam perjalanan, kami sempat memutar sebuah tembok alam setinggi 7 meter dengan panjang kira-kira 300 meter. Saya terkesima karena ini batu alam yang nampak seperti tembok Cina atau sebuah benteng pertahanan. “Jangan-jangan di zaman penjajahan Belanda, banyak warga kampung yang lari sembunyi ke sini,” seloroh Kena Din di tengah perjalanan.
Lewat dari tembok ini, kami mulai menanjak sekitar 45 derajat ke puncak Gunung Suru. Tinggi gunung ini sektar 1500 mdpl. Sulit untuk berjalan konstan karena medan yang berat. Hampir semua dari kami sangat kelelahan di medan satu ini. Selain penuh dedaunan kering, banyak sekali batu-batu putih besar. Untungnya, banyak pepohonan, jadi bisa berpegangan dan pelan-pelan mulai menanjak. Kami juga menemukan beberapa pohon yang jadi komoditas pasar yaitu pohon damar, pohon gaharu, dan rotan.

Setelah di puncak, semua lelah lepas begitu saja lantaran hamparan hutan yang begitu luas langsung memanjakan mata. Harus diakui, berada di puncak Gunung Suru itu seperti berada di atap belantara hutan Hunimua. Ke mana pun kita mengedar pandangan, mata langsung tertumbuk gunung-gunung lain yang memancang kokoh, ada Gunung Salagur, Gunung Sengan dan Gunung Samin. Tak hanya itu, hamparan hutan yang luas dan berbukit-bukit pun terlihat rata bak setapak.
Sementara asyik menikmati permadani hijau yang terhampar itu, ternyata kami terpisah jauh dari kelompok 1 dan 2 yang sudah turun lebih dulu ke air terjun Kelbasusah untuk mendirikan camp di sekitar situ dan mulai memasak. Sekitar 30 menit di puncak, kami bergegas menyusul karena khawatir hilang jejak. Medan turunnya pun ini sedikit memutar lereng gunung yang cukup licin dan tanah yang lembap. Saya sempat terpeleset dan meluncur ke bawah seperti main perosotan, untungnya ada kayu yang bisa saya pegang, kalau tidak, bisa tamat riwayat detik itu juga. Sejujurnya, saya malah senang perosotan alami begitu, semacam ada rasa puas setelah hormon adrenalin saya dipacu insiden itu.
Kami tiba di Kelbasusah jam 5.30 sore, langsung disambut suguhan kopi hangat dan lagu-lagu daerah yang dinyanyikan teman-teman. Dulunya, area ini adalah air terjun dan kali besar. Sayangnya, sudah kering karena tertutup longsor besar. Dalam pengamatan saya, kepala air terjun ini setinggi 30 meter dan lebar kalinya sektar 15 meter.
Malam sudah mulai menutup langit-langit hutan, sebuah camp kecil sudah siap, dan api unggun pun sudah manyala. Kami langsung mendendang lagu-lagu khas Maluku, sesekali deselingi tembang nostalgia Lola Drakel dan MOP Papua. Biar suasana semakin membakar, saya langsung bagi-bagi kacang telor manis. Hasilnya jos, kayaknya pada semangat nyanyi, dan saya pun tertidur. Sayangnya, malam itu hujan deras jadi kami harus tidur baku sosak (desak-desakan) dalam satu tenda kecil itu.

Paginya, koki Gotam sudah masak bubur. Benar-benar bukan menu sarapan di gunung, malah berasa kayak di rumah saja. Satu catatan, teman-teman ini makannya banyak banget. Seperti kata Abdur waktu stand up Kompas TV, “Orang timur kalo timba nasi, hemm…gunung Semeru.” Sumpah, nasi segunung pake nambah, bila perlu nambah sagu kalau ada.hehehe. saya kwatir, bekal bakal habis hanya dalam 1 dua hari, padahal kita rencana 3 hari 2 malam sesuai rute ke puncak Gunung Samin.
Hujan masih lebat, kami belum bisa bergegas. Tepat jam 9 hujan reda dan kami bergegas menuju kawasan Afi Ka. Ini adalah area dimana berhektar-hektar tanaman paku terbakar hangus puluhan tahun lalu akibat kemarau panjang, makanya disebut Afi Ka (Api yang Menyala). Berdasarkan penuturan orang di kampung, saking besarnya api, orang kampung bisa melihat membaranya api dan area pegunungan menjadi warna kuning kemerahan saat malam hari.
Menuju Afi Ka cukup berat karena terus menanjak, pijakan yang licin sehabis hujan menjadi kendala terberat.  Tiba di kawasan ini, masih ada sisa-sisa lahan kering akibat kebakaran hebat itu, namun hijaunya hamparan tanaman paku membuat semua tragedi itu seolah tak pernah ada. Tinggi tanaman pakunya sekitar 2 meter, saya tenggelam di tengahnya, bahkan saat terjatuh pun berasa memantul di atas springbed,empuk sangat. Di kawasan ini, Om Usman menanam bibit pala, cengkeh, dan kelapa. Dia berharap bisa panen suatu saat (Wih, jauh amat kalau harus panen, berat di ongkos Om.hehehe).



Di sini kami puas-puasin bernarsis ria dan menancap satu bendera putih yang dibubuhi tanda tangan semua anggota pendaki, ya buat tanda kenangan saja. Hampir dua jam hanya untuk sesi pemotretan.hehehe. saya sendiri sudah menyiapkan tema foto yang bakal saya lakuin di gunung, yaitu “membaca alam”. Saya sengaja bawa buku hanya untuk properti foto ini, karena unik, kawan-kawan pun ikutan. Dalam setahun belakangan, saya terobsesi berpose di mana pun dengan buku, konsepnya “membaca di mana saja dan kapan saja”.
Setelah puas foto-foto, kami langsung menanjak lagi menuju puncak Samin. Di tengah kumpulan tanaman paku, kami juga menemukan spesies endemik langka yang jumlahnya banyak di Indonesia yaitu Kantong Semar (genus nepenthes). Indonesia memiliki 64 varian spesies kantong semar yang tersebar di seluruh wilayah. Sekitar 32 jenis spesies tumbuhan karnivora ini, adanya di Kalimantan. Kebetulan, yang saya temuin itu kantong semar Papua jenis nepenthes mirabilis.


Kami terus ke puncak, karena hujan, sebagian teman-teman memutuskan langsung ke kali Air Keta. Sedangkan saya dan 5 orang lainnya memaksa merangsek ke puncak. Namun karena hujan yang makin deras, angin yang begitu kencang, akhirnya kami hanya sampai di bibir puncak saja. Sudah cukup puas, dari sana kami bisa melihat ombak mengibas putih di pantai Kabupaten Seram Bagian Barat. Kami pun menancapkan satu bendera merah putih, dibiarkan berkibar sebagai bukti bahwa kami pernah ke sana.
Setelah puas di puncak, kami menyusul kawan-kawan, tiba di kali Air Keta sekitar pukul 4 sore, kami nginap di sana semalam. Kali ini tendanya dibuat sedikit besar, beralas daun-daun lebar. pokoknya jauh lebih bagus dan nyaman dari campsebelumnya. Kawan-kawan lain ada yang tangkap udang, ada yang mancing, dan ada yang mandi. Bisa bayangin kan, para perjaka timur sedang mandi bareng? Ini semacam badadra yang mandi di kali, dengan warna pelangi yang kelabu semua.hahaha.
Keesokan harinya, kami langsung bergegas keluar hutan dengan rute menyusuri panjangnya menuju kampung Leantasik. Berjalan sekitar 5 jam, kami istirahat di tubir kali Air Keta untuk makan siang. Di sana, ada banyak batu intan yang diambil teman-teman. Mulanya batu kekuningan itu dikira emas, masing-masing berebut jatah, ternyata itu intan. Perjalanan kami lanjutkan, tepat jam 2 siang kami tiba di kampung Lintasik, lalu menyusuri jalan setapak ke Desa Suru.
Di jembatan Desa Suru, kami sempat foto-foto lagi, seakan-akan tak ingin melewati satu spot pun tanpa dokumentasi.  Dan akhirnya, hanya butuh tiga kilo meter lagi, kami pun tiba di Desa Kwaos tanpa kurang satu apapun.
Akhirnya, saya hanya bisa mengambil hikmah bahwa Tuhan menghamparkan hutan, memancangkan gemunung, untuk kita tafakkuri dan syukuri atas nikmatnya pengembaraan hidup ini. (SR)
Tulisan ini terlebih dulu diposting di www.kompasiana/shulhan
Baca Selengkapnya >>>
0 komentar

Kepulauan Banda, merupakan gugusan pulau-pulau kecil yang terletak sekitar 132 kilometer di bagian tenggara pulau Ambon provinsi Maluku. Kepulauan Banda juga menyimpan banyak informasi sejarah, keanekaragaman budaya, sekaligus menawarkan panorama alam yang maha indah. Kepulauan Banda tak hanya tersohor di Indonesia tapi menggaung hingga ke Eropa. Potensi rempah-rempah berkualitas yang berlimpah-ruah seperti pala, lada, fuli dan cengkeh menjadi daya tarik utama dalam bidang perdagangan bangsa Eropa dan Arab berabad-abad lalu. 
Tak heran, bila rekam jejak Kepulauan Banda diabadikan dalam buku Suma Oriental que trata do Mar Roxo ate aos Chins karya Tome Pires seorang apoteker Portugis yang mengunjungi Kepulauan Banda antara tahun 1512-1515. Hingga kini, Kepulauan Banda selalu menjadi tujuan perdagangan dan tempat wisata oleh wisatawan lokal maupun wisatawan manca negara.
Kepulauan Banda terdiri dari beberapa pulau, seperti Banda Neira sebagai pusat administrasi, pulau Gunung Api, pulau Banda Besar, pulau Keraka atau Kepiting, Sjahrir Island, Hatta Island, dan Pulau Ai. Masing-masing pulau ini menyajikan menu wisata yang unik dan menarik, mulai dari pendakian puncak gunung api, kunjungan tempat-tempat bersejarah, hingga menikmati taman laut yang menawan. Untuk mencapai Kepulauan Banda, tersedia pilihan transportasi udara dan laut.
Wisatawan dari Jakarta, Bali, dan wilayah lain di Indonesia dapat menggunakan pesawat Lion Air, Batavia Air, Sriwijaya Air dan Merpati tujuan Ambon dengan lama penerbangan 3 jam, setelah itu dapat menggunakan penerbangan dalam provinsi dengan Buana Air, Trigana Air dan Merpati Foker tujuan Ambon-Banda Neira. Rata-rata harga tiket pesawat tujuan penerbangan Jakarta-Ambon berkisar antara Rp 600.000 hingga Rp 3.000.000 perorang, sedangkan harga penerbangan dalam provinsi jauh lebih murah di kisaran harga Rp 120.000 perorang. 
Sementara transportasi laut yang tersedia hanyalah kapal PELNI KM Bukit Siguntang, KM Dobonsolo, KM Ciremai dan KM Lambelu yang melayani rute pelayaran Jakarta, Surabaya, Makassar, Bau-Bau, Ambon dan Banda Neira selama 4 hari waktu pelayaran. Kisaran harga tiket cukup variatif karena disesuaikan dengan pemesanan kamar di masing-masing kelas, mulai dari harga Rp 600.000 hingga Rp. 2.000.000 perorang yang include 3 kali makan sehari.
Banyak penginapan dengan harga terjangkau sudah tersedia di Banda Neira, bahkan penginapan dengan penawaran kelas wahid seperti Hotel Maulana pun disediakan untuk kenyamanan berwisata anda. Variasi harga hotel permalam sekitar Rp 150.000 - Rp 600.000. Dari hotel atau penginapan di Banda Neira, kita lebih mudah berkunjung ke setiap objek wisata karena transportasi yang tersedia cukup banyak. Objek wisata di pulau Banda Neira sendiri di antaranya rumah pengasingan Bung Hatta, Syahrir St, F. Iwakusuma Sumantri, dan Dr. Cipto Mangunkusumo yang dinyatakan Belanda sebagai tawanan politik di masa itu.
Arsitektur rumah pengasingan ini sangat khas dengan rumah kuno zaman penjajahan Belanda, berornamen kayu-kayu pahat dan lampu hias yang sudah terlihat usang. Terdapat pula ranjang, almari kayu, kacamata, buku, pena, kopiah, piyama dan Jas milik Hatta. Di rumah pengasingan ini, pengunjung dibolehkan memotret namun harus seijin pengelola. Kunjungan ke Rumah Pengasingan ini pun tidak dipungut biaya, namun pengelola menyediakan kotak amal bagi pengunjung yang mau bersedekah untuk perawatan bangunan.

 Rumah Pengasingan Bung Hatta (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Sekitar 100 meter tak jauh dari Rumah Pengasingan, kita sudah bisa berkunjung ke Benteng Belgica peninggalan koloni Belanda saat menduduki Kepulauan Banda pada tahun 1619 yang dipimpin Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen. Arsitektur benteng Belgica berbentuk persegi lima dengan beberapa tempat penting seperti ruang belajar, ruang pembantaian, dua terowongan pelarian diri dengan panjang mencapai 100 meter.
Ada juga peninggalan perang seperti meriam dan rantai borgol tawanan. Namun yang lebih khas adalah menikmati keunikan corak bangunan dan warna bangunannya yang sudah tua itu. Dari Benteng Belgica, kita dapat melihat seantero pulau Banda Neira dengan tolak pandang sangat memuaskan.

Tampak bagian dalam Benteng Belgika (Sumber: Dokumentasi Pribadi)


Kunjungan bisa dilanjutkan ke Taman Mini yang berhadapan dengan Benteng Belgica. Di sana terdapat patung Raja Willem III, patung para jenderal koloni Belanda, berjejer pohon-pohon tua dengan batang berdiameter 1,5-3,8 meter, dan banyak bangunan peninggalan Belanda. Taman Mini ini, bisa disebut juga sebagai kota tua seperti di Jakarta.
Sepulang dari Taman Mini, kita bisa berkunjung ke kampung Pecinan untuk membeli oleh-oleh khas Banda Neira seperti manisan buah pala basah dan kering, halua kenari, dan ikan tongkol asin. Riwayat kampung Pecinan sejak kependudukan koloni Belanda sudah dikenal sebagai pusat perdagangan. Kita juga bisa menikmati kentalnya nuansa etis Tionghoa di kampung Pecinan ini.
Setelah puas berkeliling, petualangan wisata bisa diteruskan ke pulau Gunung Api yang berhadap-hadapan dengan Banda Neira. Kita bisa menggunakan speedboat dari dermaga Laguna dengan kisaran harga Rp 10.000- Rp 15.000. jika ingin hemat, kita bisa menggunakan perahu ketinting khas Banda dengan kisaran harga Rp 5.000- Rp 10.000 perorang dengan waktu tempuh 10 menit saja untuk mencapai bibir pantai pulau Gunung Api. Di pulau ini, wisata paling menyenangkan yaitu memasuki kawasan taman wisata alam Gunung Api Banda dengan pendakian puncak gunung selama satu setengah jam.
Gunung Api ini ibarat monument alam yang Tuhan hadiahkan bagi masyarakat Banda. Ia memancang kekar di tengah lautan dengan lereng-lereng yang menggambarkan status vulkaniknya. Gunung ini ibarat saksi sejarah masyarakat Banda sejak dahulu kala yang menyimpan banyak rahasia, berjuta cerita, dan seabrek legenda. Pendakian ke puncaknya tak hanya menumbuhkan kebanggaan pribadi tapi juga semakin memancangkan rasa cinta tanah air. Ketinggian Gunung Api ini pada awalnya mencapai 800 mdpl, namun pada 9 Mei 1988 gunung ini kembali memuntahkan laharnya. Sejak itu, para ahli vulkanologi mencatat angka baru untuk ketinggian gunung ini yang merosot menjadi 666 mdpl.

 
Untuk mendapat panorama alam seperti sunrise dan sunset, pendakian bisa dilakukan dua jam sebelumnya. Sebelum pendakian, dianjurkan melapor ke petugas seksi konservasi Gunung Api Banda agar pendakian kita bisa dikontrol. Selama pendakian, kita melewati 4 pos utama sebelum menembus puncak dengan sudut kemiringan 30-45 derajat. Jalur yang dilalui saat pendakian cukup terbuka dan tidak terhalang semak belukar. Satu-satunya rintangan adalah sisa-sia batuan vulkanik yang mengeras namun mudah terlepas saat diinjak sehingga membuat pijakan menjadi kurang stabil.
Selebihnya, kita tinggal mengatur napas dan berjalan dengan konstan. Bahkan, jalur pendakian yang cukup terbuka itu juga menyajikan makanan alam seperti jambu merah yang bisa dipetik langsung. Setelah berada di puncak, dari sudut 360 derajat di atas ketinggian puncak 666 mdpl, Gunung Api menyajikan panorama yang spektakuler. Seluruh Kepulauan Banda terlihat menghampar, mulai dari Banda Neira yang tepat di bawah kaki gunung, pulau Banda Besar, Pulau Karaka dan pulau lainnya serta hamparan laut yang menampakkan tinta birunya.
Beberapa pulau di Kepulauan Banda juga terkenal sebagai lokasi penyelaman (scuba diving) dengan visibility terbaik di Indonesia. Kontur bawa laut yang bervariasi berupa dinding, goa-goa kecil serta overhang ini, sangat menarik untuk diabadikan. Kepulauan Banda juga menawarkan aneka taman laut seperti terumbu karang yang sangat terjaga kelestariannya. Bahkan menurut penelitian UNESCO, pertumbuhan terumbu karang tercepat di dunia untuk mencapai usia dewasa dalam kurun waktu kurang dari sepuluh tahun hanya ada di pulau Banda besar. Pulau ini mempunya area clear visibilitymencapai kedalaman 40 meter, sehingga pemandangan bawah lautnya terlihat jelas dan memesona.
Beberapa pulau yang juga menyediakan taman bawah laut di antaranya pulau Banda Neira, pulau Ai, pulau Hatta, pulau Sjahrir, dan pulau Karaka. Kejernihan air di pulau-pulau ini tak perlu diragukan lagi. Bahkan saking beningnya, air laut yang bening seolah terlihat memantulkan refleksi violet dan magenta biru dari langit, juga nampak bagaikan kaca yang terhampar di lautan. Terumbu karangnya terlihat jelas dari permukaan laut. Di antara pulau Banda Neira dan pulau Gunung Api terdapat tempat menyelam yang disebut Sonegat. Tempat ini menjadi sarang ikan blue girdled dan emperor angelfish yang cantik, juga pemandangan terumbu karang yang berwarna-warni.
Sementara di pulau Karaka atau pulau kepiting, kita bisa menikmati hamparan pantai pasir putih yang indah dan cocok untuk berpiknik. Di sebelah selatan pantai, terdapat beberapa mini-wall setinggi 18 meter yang ditutupi ratusan large blue dan  yellow tunicates. Sedangkan di arah timur pantai, kita bisa melihat hingga kedalaman 10 meter dengan aneka pemandangan ikan-ikan batu karang dan sekelompok barracuda sepanjang 50 sentimeter.
Jika beralih ke pulau Sjahrir, alam akan menyuguhkan kita hamparan pantai pasir putih yang luas serta air laut sebening kaca, sehingga sangat mudah kita melihat dan menikmati terumbukarang dan aneka biota laut yang ada. Waktu terbaik untuk melakukan penyelaman di pulau ini biasanya di waktu pagi dan sore hari. Untuk area snorkeling terbaik, kita bisa berkunjung ke pulau Ai dan menikmati keindahan surga lautnya yang sudah disediakan alam. 
Berwisata ke Kepulauan Banda tidak perlu merogoh kocek dalam-dalam sebab dengan Rp 5.000.000 saja, anda sudah bisa mengikuti 10 hari tour keliling Kepulauan Banda dengan seabrek objek wisata yang tersedia. Waktu yang tepat untuk mengunjungi Banda yaitu antara bulan April-November. Kondisi cuaca pada bulan-bulan itu cenderung stabil. Dianjurkan untuk tidak berwisata antara bulan Desember-Maret karena kondisi angin barat yang menyebabkan gelombang laut dan cuaca yang tidak stabil.
Sebagai pelengkap kunjungan wisata di Kepulauan Banda, kita dapat menyimak dan ikut nimbrung dalam beberapa perhelatan budaya setempat seperti prosesi cuci sumur pusaka yang dilakukan 8 tahun sekali. Biasanya prosesi cuci sumur dilakukan dengan tradisi lempar becek dan iringan pawai perahu Kora-kora (Coracora boat) sepanjang 29 meter dengan tinggi 80 sentimeter berkapasitas muatan 45 orang yang mengitari teluk Banda. Pawai perahu Kora-kora juga dilakukan hampir di setiap peringatan hari besar nasional.


Baca Selengkapnya >>>
0 komentar

Partai politik sibuk berkontestasi
Demi citra poles sana-poles sini
Rakyat diberi janji-janji pragmatis
Ujung-ujungnya bosan lalu apatis
Janji politik dijadikan komoditas
Pemilu presiden, pemilukada, jadi pasar lelang politik
Ramai diskon besar-besaran dan bonus jabatan
Katanya ini produk unggulan, sekali waktu bisa berubah
Tergantung empunya mau jual janji apa
Ada janji manis, janji palsu tipu-tipu, pokoknya janji-janji
Ramai sekali parpol promosikan janji dalam partai besar
Kalau diborong harga bisa murah
Semua produk berlabel katanya, niatnya
Bahkan buka lowongan caleg di mana-mana
Nyatanya, Ibu tua jompo ditipu beras dan gula
Gadis-gadis manis dikasih apel Malang, apel Washington
Ah dasar politik dasamuka
Di tiap panggung janjinya beda-beda
Tak masalah dibilang oportunis
Asal terjual semua produk politik



Baca Selengkapnya >>>
0 komentar

Bruk…brak…bruk…bunyi genteng berjatuhan, satu persatu atap kosan terlucuti, debu mengepul sesaki kamar tengah. Bagian depan kosan sudah benar-benar melompong atapnya dan lantai kotor berserak pecahan genteng.
Saya terkaget bangun, tengok kanan-kiri tak seorang kawan pun ada, samar-samar saya mendengar suara kerumunan di luar kosan, dan tanpa pikir panjang saya langsung lari ke luar. Dalam kondisi sadar yang belum purna, saya menerka-nerka apa yang terjadi sampai kosan serusak itu.
Untung saya gak ketimpa genteng, pingsan, dan masuk UGD,” pikir saya liar seketika. “Hah, kamu masih dalam kosan?” Bapak kos nampak kaget.
Saya pikir sudah ke kampus, jadi saya suruh tukang bongkar kosan karena mau digabung dengan rumah saya. Direnovasi. Saya sudah sediain kosan baru. Maaf mendadak,” jelasnya.
Astaga Pak, untung saya gak ketimpa genteng,” balas saya singkat. Dongkol.
Saya langsung minta turun harga, sebab pembongkaran dadakan itu nyaris membahayakan saya. Negosiasi berjalan alot, bapak kos bersedia kasih kosan satu petak seharga Rp 450 ribu, padahal kosan sebelumnya tiga petak, harga Rp 600 ribu. Saya sekukuh menawar Rp 350 ribu perbulan. Nihil, patok harga tak bisa dicabut, tetap 45′.
Saya pindah kostan Pak, saya minta tiga hari cari kosan baru, sementara saya di sini dulu,” tegas saya.
Oh, silakan,” jawabnya sambil lanjut mandor pembongkaran kosan.
Saya putuskan untuk tidak ngekos lagi di sana. Sembilan bulan sudah cukup. Kapok, pikir saya. Sedikit keluar dari radius kelurahan Semanggi, Ciputat, saya dapat kosan bagus di bilangan Legoso Timur, Ciputat juga. Saya jatuh hati pada pandangan pertama dengan kosan ini, seperti rumah minimalis, fasilitas ruang tamu, dua kamar tidur, satu ruang dapur, dan kamar mandi. Lebih istimewanya lagi, harganya persis Rp 600 ribu.
Alhamdulillah, kalau susah begini ada aja balasan baiknya,” syukur saya.
Deal, kwitansi pembayaran sudah di tangan. Dibantu teman-teman, akhirnya pindah dan ngekost bertiga. Saya sekamar sendiri. Hari pertama dilewati tanpa keganjilan apapun, bahkan nyaris sempurna menikmati kepindahan ini. Hari kedua, kemeja putih milik Robi nampak menguning, sisa-sia zat besi dari air sumur bor mengubah warnanya. Lantai dasar bak pun penuh endapan zat besi. Fatalnya, masak nasi di magic jar pun menguning karena pakai air keran dapur.
Aahhhh, kemeja baru gw jadi kuning, nasi bau besi, batal sarapan. Nasib…thank you,” ketus Robi pagi itu. Alhasil, kami ngelaundry semua pakaian kotor, tak mau ambil risiko lagi.
Kami langsung bergegas kuliah. Tak apalah satu baju yang rusak. Masih bisa dibeli besok tapi tidak dengan kosan yang murah ini. Maklum, mahasiswa doyannya kosan murah meriah, begitu alasan kami supaya tetap betah di kosan. Tapi, lebat guyuran hujan hari itu buat semuanya berubah. Saat pulang kuliah, kami harus menerjang banjir sekitar 35 sentimeter yang menutupi badan jalan di gang kosan, hampir selutut, dan kosan nyaris tergenangi.
“Yassalaaam…pindah, pindah, pindah. Ini musim hujan, bisa berbulan-bulan nasibnya begini terus,” celoteh Dani. Saya bergeming, tanpa sepatah kata membalas, langsung masuk kosan.
Jelang magrib, tampak warga di seberang kosan bersih-bersih sisa banjir di teras rumahnya. Kami pun sama, sibuk ngepel dan kuras bak mandi. Hampir sebulan berlalu, nasib masih sama. Sepakat, kami resmi pindah. Satu tahun 2006 yang berkesan, jauh dari Ambon datang jadi anak rantau pertama kali di Ciputat, Tangerang, disuguhi banjir dan aksi bongkar kosan dadakan. Benar kata kawan saya Robi, nasib.
Di awal Februari 2007 saat Jakarta darurat banjir sana-sini, lagi-lagi Ciputat pun senasib. Tak terkecuali anak kosan seperti saya.
Kring…kring, Han…Shulhan…Han, kosan banjir, lemari ngambang, komputer kelelep. Kasur, buku, juga rusak,” lapor Robi lewat telepon. 
Dug, saya mendadak lemas, khawatir dokumen penting di lemari rusak.
“Ok, meluncur ke TKP,” jawab saya singkat.
Tiba di kosan, saya langsung cari ijazah, buku tabungan dll dalam lemari yang sebelumnya memang sudah dibungkus kantung plastik anti air dan dimasukkan dalam map dokumen sewaktu disimpan di lemari dulu. Syukur, dokumen selamat tapi yang lain ludes.  keesokannya langsung pindah kosan lagi. Kali ini, pertimbangan utama adalah lokasi bebas banjir.
Saya migrasi dari Kertamukti, Ciputat ke Kampung Utan bagian selatan komplek UIN Jakarta. Saya tempati kosan dua petak, satu kamar mandi, dan letaknya terhimpit antara gedung sekolah dan masjid. Hampir 6 bulan saya tak sempat bersapa dengan matahari pagi, letak kosan ini terlalu dalam ke jantung gang komplek yang berhimpit-himpit rumah. Akhirnya, pindah juga. Tak tahan terisolasi terlalu lama bak sedang berkontemplasi saja di kosan itu.
Bu, saya pamit,” sambil salami Ibu Kos.
Iya, kalu sempat main lagi ke sini,” ucapnya.
Akhirnya, saya merapat lagi ke Semanggi, Ciputat. Ya, masih tetap di Ciputat sebab kota ini seperti medan magnet semua aktivitas saya dan kawan-kawan, kuliah dan kerja. Puji Tuhan, kami dapat kosan Rp 700 ribu perbulan, tanpa pisah biaya listrik lagi, air bersih, tiga petak, dapur, satu kamar mandi, dan teras cukup luas untuk parkir motor. Sampah kosan pun diangkut petugas kebersihan setempat. Ditawari kasur gratis, lemari gratis, dan tentu kenal anak Ibu kos yang cantik lagi baik hati. Saya panggil dia Bu Presdir, sebab selain getol ingatkan bayar kosan, dia juga membolehkan telat bayar.
Tak lama dengan kesenangan itu, sebuah apartemen 18 lantai tengah di bangun tepat 5 meter di samping kosan. Hanya terpisah tembok tipis dan pagar kawat besi, ditambah debu coran bangunan hasil geber kerja 24 jam sehari, bising mesin beratnya, dan sinyal HP yang langsung SOS seperti kawasan bebas sinyal. Kini mencuat isu baru, pihak pengembang sedang negosiasi harga pembebasan lahan warga dan penggusuran. Duh, apa iya harus pindah lagi? Nasiiib.


Baca Selengkapnya >>>
2 komentar
Setir bus Koantasbima 102 (Ciputat-Tenabang) yang yang tak layak guna (foto: dokumen pribadi)
-------------------------

Sudah rahasia umum, sengkarut moda transportasi umum di Jakarta selalu jadi perbincangan hangat di ruang publik. Persoalan moda transportasi umum yang saban hari selalu kita jumpai, mulai dari minimnya jumlah moda angkutan operasional, moda transportasi yang sudah kolot dan tak layak jalan, stasiun dan halte pemberentian yang kurang layak, perilaku berkendara yang serampangan, hingga kebijakan penyelesaian yang tak kunjung temu titik terang, menjadi pusaran yang membelit aktivitas masyarakat.
Apa buktinya? mungkin sebagian dari kita, punya pengalaman tak sedap menyoal transportasi umum ini. Khususnya di Jakarta, saya punya pengalaman yang tak menyenangkan, tak memuaskan, saat menggunakan trasnportasi umum. Di sini, saya lebih khususkan lagi pengalamannya terkait pelayanan bus antarkota dan minibus sejenis Metromini, Kopaja dan Koantas Bima.
Sebagai pecinta moda transportasi umum, saya lebih sering bepergian dengan memanfaatkan layanan transportasi umum. Bus Transjakarta, misalnya. Bagi saya, selain Transjakarta punya jalur khusus, pelayanannya terbilang cukup baik, namun persoalannya ada pada perawatan bus yang mungkin kurang maksimal.
Pernah suatu hari minggu di tahun 2012, banyak masa berkeburutan di bundaran HI karena sibuk bantu memadamkan bus Transjakarta yang terbakar, sebisanya. Lain kejadian, saat menuju Taman Impian Jaya Ancol dari Halte Senen, bus Transjakarta yang saya tumpangi menabrak taksi dari arah berlawanan. Sopirnya ugal-ugalan, walhasil ringsek depan bus dan bagian depan taksi rusak parah. beruntung, tak ada korban luka-luka dan meninggal.
Tak hanya itu, besar ruang halte yang belum cukup menampung volume penumpang yang mengantri, melengkapi fenoma karut-marut manajerialnya. Halte Harmoni misalnya, hampir setiap hari, berdesakan penumpang di sana yang juga dihadapkan pada sikap ketus para petugas Transjakarta. Husnudhon saya, mungkin petugasnya kecapean, jadi ya sesekali jutek bin ketus. Dimaklum, deh.hehehe.

Ada lagi yang lebih mengkawatirkan plus memalukan. Minibus seperti Kopaja, Metromini, dan Koantas Bima, banyak yang tidak terawat namun dipaksakan beroperasi di jantung ibukota hingga mengitari pesisir Jakarta dengan tingkat polusi tinggi, dan perilaku supir yang kadang mengabaikan keselamatan penumpang. Buktinya sangat banyak, setidaknya berdasarkan kumulasi pengalaman saya sendiri.
Suatu hari di awal 2013, saya pulang kantor. Niat berhemat, saya urungkan naik taksi dan beralih ke Koantas Bima 102 dengan rute Tanah Abang- Ciputat. Di halte tikungan Hotel Mulia, saya dan beberapa orang menunggu Koantas Bima 102. Tak lama, kita berlarian berdesakan masuk minibus itu. Seketika, saya lega karena sudah di dalam bus, meskipun berdiri. Tapi saat menyadari suana dalam bus, saya jadi was-was, malah khawatir keselamatan diri dan penumpang lainnya lantaran supir ngebut sepanjang jalan Gelora-Senayan City.
Supir asyik teleponan sambil ngebut dan sesekali marah-marah sama cewek yang ada di ujung telepon, yang dibilangnya “sayang”. Logat batak yang kentara, volume bicara yang keras, makin mendramatisir suasana. Belum lagi ulah kernetnya yang gelantungan di sisi pintu sambil teriak-teriak “terus, terus, terus, kiri kosong, majuuu woooi, bablas piiir,yiiihaaaa…dll” (terkesan akrobatik banget, memang). Mirisnya, kernet itu seorang bocah. Saya taksir, dia masih diusia 10-12 tahun.
Nasib nahas tak sampai di situ. Di depan mall Pondok Indah, semua penumpang dimigrasikan ke bus lain yang jelas-jelas beda jurusan meski melintasi sebagian rute Koantas Bima 102 itu. Misalkan, penumpang dipindahkan ke Bus Metromini 72 jurusan terminal Lebak Bulus-Blok M, lintas rute pondok indah. Alhasil, penumpang yang ke Ciputat mesti naik angkot lagi, tentu nambah ongkos lagi. Bukan satu dua kali perilaku migrasi penumpang oleh para supir ini, tapi sepanjang enam tahun di Jakarta, saya sering mengalaminya. Jadi, ini seperti kebiasaan buruk yang termapankan.
Menyoal perawatan bus, saya punya cerita sendiri. Di bulan puasa 2012, saya harus tiba di kantor jam 5 sore. Saya putuskan naik Koantas Bima 102 dari Ciputat jam 3 sore, perkiraan bakal sampai jam 5 teng. Tapi, perkiraan saya meleset jauh. Saat bus melintas area Radio Dalam sembari ngebut, tiba-tiba bus oleng dan besi penyambung antara ban bagian kanan & kiri copot, baut besarnya pun patah, murnya lepas. Seketika supir rem mendadak dan semua penumpang panik berhamburan keluar. Untungnya, bus tidak terguling. Keesokannya, sepulang kantor jam 9 pagi, kejadian hampir serupa terjadi. Baut besar di ban Koantas Bima 102 lepas lagi, kejadiannya di tikungan Hotel Mulia. Anehnya, polisi di TKP tidak berbuat banyak, bahkan tidak memeriksa surat jalan supirnya.
Kualitas pelayanannya semakin memburuk saat kondisi dalam bus begitu semrawut dan kotor. Ada bagian dalam atas bus yang sudah copot, tapi direkatkan lagi dengan solasi. Punggung kursinya pun bolong, sebagian kursi sengaja dicopot supaya bisa menambah quota berdiri penumpang (otomatis, banyak pemasukan), kaca retak juga direkatkan dengan solasi, pintu bus yang sudah dol alias tak bisa dikunci lagi, kaca pintu pecah bahkan ada yang tanpa kaca pintu, kemudi bus yang sudah kelihatan tua, besi badan bus yang sudah karatan, dan kualitas mesin yang bisingnya “minta ampuuun”.

Perilaku berkendara juga jadi perhatian khusus. Tak hanya Koantas Bima 102 & 510, tapi Kopaja P20, Metromini 72 & 610, juga Bus 76 yang kesemuanya bermarkas di terminal Lebak Bulus dan Ciputat, kadang mengabaikan pelayanan dan keselamatan penumpang. Perilaku supir saat mengemudi jauh lebih buruk dari yang diharapkan. Ada yang nyupir sambil teleponan, ada yang sibuk godain penumpang (khususnya cewek-cewek cantik), eh tau-taunya nabrak dan bikin macet. Ada yang sambil merokok tanpa rasa bersalah karena sudah meracuni penumpang, ada yang ngebut gak ketulungan parahnya sampai menyisir trotoar, juga tidak menjaga jarak aman antarkendaraan di jalanan.
Terakhir, hal yang disorot dari pihak pengelola yaitu ketepatan waktu dan keamanan. Okelah, soal ketepatan waktu gak usah dibahas karena macet hampir di seluruh Jakarta. Tapi keamanan adalah faktor penting yang mesti bicicarakn solusinya. Saat di bus atau minibus, kadang pengamen masuk dengan kondisi memprihatinkan. Saya tidak menolak pengamen, tapi kalu mengamen sukarela tanpa memaksa untuk diberi, itu yang saya maklumi. Lain orang lain cara, saat generasi gepeng (gelandang, pengemis, pengamen) masuk bus, ada yang ala preman menyayat tubuh dengan silet supaya penumpang takut dan akhirnya memberi uang. Saya tidak menolelir mereka, sekalipun dipaksa.
Terlepas dari semua itu, kita tidak bisa serampangan menyalahkan pihak pengelola. Terkadang, perilaku penumpang juga yang memungkinkan pengelola merasa betah dengan buruknya sistem yang sudah termapankan di jalan. Misalkan, banyak penumpang hanya menurut pindah bus saat dimigrasikan. Padahal, kalaupun dilawan dan tidak ada yang mau turun pindah bus, mau tak mau bus akan lanjut lagi. Pada akhirnya, sebagai penumpang kita juga mesti kritis terhadap keadaan transportasi umum yang tersedia.


Baca Selengkapnya >>>
0 komentar