Menyimak situasi politik Indonesia saat ini, tampak ada tiga
fenomena yang menonjol jika dipotret dari perspektif komunikasi politik.
Pertama, praktik demokrasi prosedural yang membuka ruang-ruang ekspresi dan
partisipasi politik masyarakat.
Hal ini dimulai sejak transisi dari otoritarianisme Orde Baru ke
era demokrasi elektoral yang berjalan hingga sekarang. Fenomena ini melahirkan
beragam manuver,rivalitas dalam perumusan regulasi untuk saling mendukung atau
menundukkan. Kontestasi politik ini menyuburkan basis komunikasi politik
sebagai kebutuhan di hampir seluruh tindakan aktor.
Kedua, banyak perkembangan baru yang muncul dan menjadi penanda
modernisasi di bidang komunikasi politik. Misalnya, penggunaan sosial media
dalam menyosialisasikan ide,gagasan dan sikap para aktor politik. Mewabahnya
penggunaan Twitter, Facebook dan sejumlah sosial media lainnya oleh para
politisi,membuat lingkup komunikasi politik semakin luas.
Bahkan,fenomena protes di cyber pun kian menggejala meski belum
nampak matang sebagai gerakan hacktivist yang menentang superioritas rezim
kekuasaan dan korporasi seperti dilakukan Wikileaks. Di buku karya Gun Gun
Heryanto ini beberapa kali fenomena ini disebut sebagai third age of political
communication.
Ketiga, tumbuh suburnya industri di seputar komunikasi politik.
Misalnya, media massa, konsultan komunikasi politik, agen
publisitas,profesional PR (public relation) politik dll. Kerap menjamurnya
industri komunikasi politik ini masih ditandai oleh kegagapan kita akan
fenomena ini. Misalnya, terkait dengan aturan main soal publikasi hasil riset
opini publik melalui media yang hingga kini masih belum jelas.
Panggung politik Indonesia terutama yang dibingkai oleh media pun
kerap hanya menyajikan hyperealitas politik yang berlebihan. Jika ditelisik,
benang merah pemaparan Gun Gun nampak memosisikan beragam peristiwa politik
sebagai hal yang berpola. Banyak kesamaan pola peristiwa meskipun antara satu
peristiwa dengan peristiwa lain terjadi dalam waktu berbeda dan memiliki
sejumlah aktor yang berbeda pula.
Misalnya saja konflik elite yang melibatkan partai politik, motif
dan modusnya sering kali memiliki kesamaan dengan peristiwa di masa sebelumnya.
Relasi kuasa yang dibangun antar aktor pun kerap berkisar dalam model-model
relasi yang hampir sama. Dalam konteks inilah buku karya Gun Gun sebagai
akademisi yang consern dengan isu-isu komunikasi politik di Indonesia ini
mendapatkan tempat istimewa.
Kita senantiasa butuh sebuah dokumentasi yang memotret dinamika
yang terjadi di masa lalu, sekarang dan prediksi mendatang. Dalam buku ini
setidaknya penulis menggarisbawahi dua hal penting. Pertama, pentingnya
membumikan literasi politik sebagai bauran pengetahuan, skill dan sikap
politik. Gun Gun menilai, literasi politik sebagai gerakan evolutif merupakan
simpul kekuatan civil society. Literasi ini dimaksudkan untuk membaca kamuflase
politik elitis di tingkat eksekutif, legislatif, dan yudikatif, sekaligus
menghindari dominasi politik kartel yang pekat dengan praktik kolusif.
Kedua, pentingnya asketisme politik sebagai laku para aktor.
Asketisme politik dipahami sebagai upaya menjalankan aktivitas berpolitik
berdasarkan prinsip kesederhanaan dan etika serta memproyeksikan tindakannya
demi kemaslahatan rakyat banyak. Caranya, berpolitik tidak dengan mengedepankan
kepentingan mengejar kekuasaan melainkan demi kemaslahatan bangsa dan negara.
Artinya, asketisme politik diarahkan untuk meningkatkan
“kesalehan”berpolitik baik di tingkat pribadi maupun institusional. Pemikiran
analitis yang dibingkai dalam tujuh bab bahasan di buku ini menyoroti beberapa
peristiwa dengan cukup detil dan memadai, mengacu pada momentum peristiwa
politik yang hangat dalam diskursus media. Pada bab pertama, penulis menyoroti
manuver politik dan kontestasi parpol.
Di bagian pertama ini, penulis menyajikan ulasan seputar manuver
partai politik dalam kontestasi demokrasi. Di bab kedua,penulis membahas citra
DPR. Bagian ini memotret berbagai peristiwa konflik, inisiatif,produktivitas
kerja dan respons khalayak terhadap para politisi DPR. Bahasan bab ketiga
secara khusus menyoroti performa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam
kapasitasnya sebagai Presiden Indonesia yang telah terpilih dalam dua kali
pemilu.
Bab keempat mengulas posisi media dalam politik. Penulis
menawarkan solusi atas dinamika komunikasi politik kita dewasa ini pada bab
kelima. Secara khusus, penulis menyoroti rivalitas dalam regulasi politik dalam
bab keenam,di mana paket rancangan undangundang mengenai nasib politik bangsa
dikoreksi dengan detil.
Judul
Buku : Dinamika Komunikasi Politik
Penulis : Gun Gun Heryanto
Editor: Shulhan Rumaru
Penerbit : PT. Lasswell Visitama, Jakarta
Tebal : xvi+ 324 halaman
Terbit : Desember 2011
Resensi ini dipublikasikan di Koran SINDO, 11 Desember 2011,
Peresensi adalah Shulhan Rumaru, Peneliti The Political Literacy Institute,
Jakarta.
Posting Komentar