Pemilihan Umum 2014 (Pemilu)
sebentar lagi bakal dihelat. Ritual politik lima tahunan ini teramat penting
sebagai mekanisme konstitusional yang mesti ditempuh untuk mengganti pemimpin
di tampuk kekuasaan. Hidup mati bangsa kita ditentukan lewat prosesi ini,
sehingga pemilu tak hanya menjadi penting bagi kelompok kepentingan semata tapi
juga teramat krusial bagi seluruh masyarakat.
Sebagai warga yang siap andil
dalam tahapan pemilu, tentu kita sudah sangat mafhum dengan dinamika pemilu yang
identik dengan kontestasi. Genderang perang ditabuh kencang oleh tiap-tiap
kontestan, manuver politik dilakukan jauh-jauh hari dengan cara yang “halal
konstitusional” sampai yang “haram konstitusional”. Melempar wacana,
propaganda, persuasi pemilih, opinion
leader, money politics,
penggelembungan suara, membeli elektabilitas lewat survei politik, hingga
gugat-menggugat di Mahkamah Konstitusi, merupakan bagian dari halal-haram
konstitusional yang saya maksudkan. Tujuan dari semua manuver politik ini cuma
satu, merangkul sebanyak-banyaknya pemilih demi meraup kumulasi suara yang
signifikan pada pemilu legislatif (pileg) pada 9 April dan pemilu presiden
(pilpres) pada 9 Juli nanti.
Berbicara kumulasi suara, berarti
membahas yang dipilih (kandidat/kontestan) dan yang memilih (masyarakat), juga
strategi apa yang perlu dilakukan oleh kontestan demi meraup insentif
elektoral. Tentu, salah satu caranya dengan mengidentifikasi tipologi pemilih.
Hal ini penting, agar strategi kampanye atau strategi pemenangan dapat
diformulasikan dengan tepat, guna menyasar lebih evisien ke kantung-kantung
pemilih. Sebagai pemilih, kita juga perlu tau di mana posisi dan peran kita.
Sebelum menilik lebih jauh
tipologi pemilih, kita perlu tahu dua variabel yang melahirkan tipologi pemilih,
dimana variabel ini terbentuk dari subjektivitas dan objektivitas dari individu
pemilih yang selanjutnya akan menjadi orientasi dasar untuk memilih suatu
partai politik atau kandidat. Pertama, variabel policy-problem-solving.
Bagi pemilih yang berpegang pada variabel ini, mereka akan menilai
dan menimbang program kerja parpol/kandidat mana saja yang bisa menyentuh
permasalahan mereka, permasalahan dalam kelompok tertentu atau masyarakat.
Parpol/kontestan yang prokernya tidak jelas, bakal dibuang ke “tong sampah”
alias tidak dipilih. Kedua, variabel ideology. Variabel
ini cenderung membuat pemilih condong pada parpol/kandidat beradasarkan
aspek-aspek subjektivitas seperti kesamaan budaya, agama, moral, norma, dan
psikografis. Kalau variabel ini mampu dikelola oleh parpol/kandidat, maka
mereka akan mendapatkan basis masa tradisional.
Saya punya pengalaman sewaktu
menjadi relawan survei elektabilitas dari LSI tahun 2008. Menariknya, saya
bertemu dengan pemilih dalam dua variabel ini. Responden pertama seorang nenek
di Bandung, katanya selama darah merah, dia akan pilih partai besutan Megawati
karena emblem partai itu
berwarna merah. Responden kedua seorang pensiunan TNI di perumahan kawasan
elit, katanya akan pilih SBY karena dia teman sekolah militer SBY sewaktu di
Bandung. Responden ketiga tak kalah heboh, seorang ibu yang mengaku kangen
jaman Soeharto karena sembako murah dan akan pilih Golkar. Saya jadi ingat
tulisan-tulisan di belakang truk, “Piye
kabare? Enak zamanku to (Orba)?”.hehehe. Sekarang, ARB bangga
dengan mengaku sebagai generasi Orba. Kata Habibie, generasi 60 ke atas. Ya,
ada plus-minusnya tiap pemimpin.
Balik lagi, dari dua variabel itu
muncul 4 tipologi pemilih:
1.
Pemilih Rasional (rational voters).
Parpol kudu hati-hati dengan pemilih berjenis kelamin ini, sebab mereka sangat
mudah bermain hati, berganti kostum partai. Pokoknya gawat kalau sudah
menciderai rasionalitas mereka, tak sungkan-sungkan pemilih tipe ini akan
loncat ke partai tetangga. Kenapa? Karena pemilih ini lebih cenderung pada
variabel policy-problem-solving alias
mereka akan pilih partai/kandidat berdasarkan track
record, proker, dan karakteristik parpol/kandidat yang dianggap
mumpuni. Mau kandidat dari suku Jawa, Sunda, Ambon, Batak, dll tidak terlalu
dipedulikan pemilih rasional. Pemilih jenis ini sulit dipengaruhi secara
dogmatis, tradisional, sebab mereka mengandalkan analisis kognitif dan
pertimbangan logis. Cara menerabas benteng rasional
voter yaitu, strategi marketing
politik parpol/kandidat harus lebih kreatif, inovatif, dan faktual verifikatif.
Pemilih rasional punya daya tawar-menawar selama periode kampanye dengan
kontestan. Semakin banyak pemilih rasional, semakin baik dinamika yang timbul
dari proses pemilu ini.
2.
Pemilih Kritis. Nah, ini beda-beda tipis dengan pemilih rasional. Mereka lebih
dikenal pemilih jalan tengah alias menganut variabel policy-problem-solving juga
variabel ideology. Soal setia,
pemilih kritis terbilang cukup setia terhadap parpol pilihannya. Mereka akan
melihat korelasi antara ideologi partai/kandidat dengan prokernya. Kalau
ideologi A tapi proker B, maka Anda bisa dicap tidak konsisten, bahkan akan
dikritik habis-habisan. Kalau masih bandel, Anda akan “diputusin” alias mereka
akan pindah partai atau membuat partai baru.
Pemilih kritis cocok dimasukkan
dalam kader parpol, dikelola dengan sistem yang baik untuk menuai generasi emas
dari sebuah parpol. Manfaatnya, ketersediaan stok kader pemimpin ideal tetap
ada. Contoh pemilih ini banyak lahir dari Golkar, PPP, PBB, dan PDI di awal
reformasi, ya saya rasa kita sama-sama tau siapa mereka itu.
3.
Pemilih Tradisional (traditional voter). Pemilih ini kebalikan 100
persen dari pemilih rasional karena sangat kuat perpegang pada variabel
ideologi. Kedekatan sosial budaya, asal-usul, agama, budaya, mitos parpol,
historisitas berjenjang parpol, dianggap sebagai parameter utama. soal
kebijakan ekonomi, pendidikan, inflasi, menjadi urusan kedua.
Salah satu indikator utama
pemilih tradisonal yang bisa diidentifikasi yaitu rendahnya tingkat pendidikan,
cenderung manut pada aktor komunikasi politik sosial tradisional, taat pada leader parpol, dan konservatif
dalam memegang ideologi. Figur parpol menjadi aktor utama bagi pemilih jenis
ini, bahkan mereka kadang menyampuradukkan citra figur dengan citra parpol.
Figur baik, pasti partai baik. Figur buruk, partai buruk. Faktualnya, ini yang
dialami oleh Demokrat . Citra SBY menurun, kader terlibat skandal korupsi, maka
elektabilitas Demokrat terjun bebas. Beda dengan pemilu 2004 dan 2009, dimana berkat
figur SBY, elektabilitas Demokrat meroket.
Pemilih tradisional masih menjadi
mayoritas di Indonesia. Tak heran, jika Bu Risma, Kang Emil, dan Jokowi kini
muncul sebagai pemimpin transformasional di mata rakyat karena figur mereka
begitu populis. Bahkan mereka menjadi mesin elektabilitas parpol yang
menyumbang insentif elektoral yang signifikan dalam beberapa pemilukada.
4.
Pemilih Skeptis. Nah, di sinilah berkumpulnya para golongan putih (golput).
Jenis pemilih ini sangat kecil orientasi mereka pada ideologi maupun kibajakan
partai/kandidat. Mereka tidak berperhatian pada platfrom
parpol, malas turut berpartisipasi dalam prosesi politik, sudah tidak percaya
lagi dengan pemimpin. Siapapun yang memimpin, bagi mereka tak akan mampu
memberi perubahan atau harapan untuk mereka. Kalau pun memilih di TPS, mereka
akan nyoblos sesukanya tanpa kenal siapa yang dipilih.
Parpol/kandidat butuh perjuangan
ekstra untuk merebut perhatian jenis pemilih skeptis. Proses literasi
politiknya harus dilakukan berkesinambungan, supaya mampu menekan angka golput
saat pemilu. Ini bukan tanggungjawab parapol/kandidat saja, tapi juga tanggung
jawab kita sebagai warga untuk turut serta memberi edukasi politik bagi
siapapun di lingkungan kita untuk melek politik. Seperti yang saya ungkapkan di
awal tulisan, pemilih adalah urat nadi politik, penentu hidup matinya bangsa
ini agar tak jatuh pada pemimpin yang zhalim dan lemah.
Jadi, masuk
tipologi manakah Anda?
Salam Melek
Politik
Catatan: Tulisan ini saya formulasikan dari pengalaman
pribadi dan berbagai sumber buku: Komunikasi Politik sebuah Pengantar, karya
Gun Gun Heryanto dan Shulhan Rumaru | Public Relations Politik, karya Gun Gun
Heryanto dan Irwa Zarkasy| Marketing Politik, karya Firmanzah | Persaingan,
Legitimasi Kekuasaan, dan Marketing Politik, karya Firmanzah | Dinamika
Komunikasi Politik, karya Gun Gun Heryanto.
Posting Komentar