Belakangan ini, citra kinerja Partai Demokrat berada dalam masa kritis. Tak sedikit media mainstream menyeret Partai Demokrat dalam bingkai pemberitaan. Isu terkuat yang dihembuskan tentunya kasus korupsi Sesmenpora terkait pembangunan Wisma SEA Games di Jakabaring, Sumatra Selatan yang turut menyeret mantan Bendahara Umum Parati Demokrat, Muhammad Nazaruddin.
Hingga saat ini, keberadaan Nazaruddin di Singapura masih belum diketahui, baik oleh Partai Demokrat maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sekalipun sudah ditetapkan sebagai tersangka. Menghilangnya Nazaruddin sejak 23 Mei lalu, menimbulkan teka-teki bagi publik yang menuntut ketegasan sikap SBY dan Partai Demokrat dalam menyelesaikan masalah tersebut. Terlebih, kini isu tersebut menggelinding bak bola salju yang berimbas pada keruhnya dinamika politik dan lesunya penegakan hukum di Indonesia. Tak dapat dimungkiri, kasus Nazaruddin dapat diprediksi akan berlanjut layaknya telenovela dengan balutan intrik politis.
Delusi Politik
“Sudah jatuh ketiban tangga.” Pepatah ini layak disematkan pada performa SBY dan Demokrat yang dalam beberapa pekan belakangan ini ramai dibicaran publik menyoal embargo politik yang menyeret partai ini terjebak dalam kubangan korupsi. Mencuatnya nama M. Nazaruddin sebagai delegasi Demokrat di Komisi III DPR yang tersandung kasus dugaan korupsi pembangunan Wisma Altel SEA Games dan pemberian uang kepada Sekretaris Jenderal MK Djanedjri M Gaffar membuat elite Demokrat semakin sibuk berjibaku memproteksi image partai sebagai partai bebas korupsi.
Meminjam hasil survei kepuasan publik terhadap SBY yang rilis Lingkaran Survei Indonesia di Jakarta pada 26 Juni kemarin, menunjukkan bahwa tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan SBY merosot di bawah 50 persen. Survei di lakukan pada 1 Juni- 7 Juni 2011 dengan 1.200 responden yang dipilih secara acak (random sampling) mewakili 33 provinsi ini, menunjukkan penurunan kepuasan publik terhadap kinerja SBY cukup signifikan, mencapai 9,5 persen. Artinya, bila dibandingkan dengan hasil survei pada januari 2011, maka tingkat kepuasan yang semula 56,7 persen turun menjadi 47,2 persen.
Kenyataan ini semakin sulit ditepis Demokrat sebab terlanjur membentuk opini teranyar mengenai lemahnya kinerja SBY dan Demokrat. Sementara itu, pihak SBY dan Demokrat belum secara eksplisit membenarkan atau meragukan hasil survei tersebut. Opini elit soal hasil survei ini pun beragam dan berpotensi menimbulkan maneuver politik baru. Dengan begitu, realitas yang timbul dari kasus Nazaruddin ini terindikasi gejala delusi politik, dimana publik dan elit silih menuduh dan tak mau disalahkan.
Fenomena salah kesan ini timbul dalam internal Demokrat juga di eksternal Demokrat sendiri. Salah kesan internal dapat diartikan sebagai ketidakseriusan Demokrat dalam menangani kasus ini, sebab persoalan malah mengemuka menjadi perpecahan internal partai yaitu kubu Anas Urbaningrum dan kubu Andi mallarangeng. Selain itu, secara hukum Partai Demokrat merasa tidak berkewajiban untuk menjeput pulang mantan berdehara mereka itu dan menyerahkan sepenuhnya pada KPK. Sikap Demokrat ini tentu mengundang banyak tanya terkait kebenaran ancaman Nazaruddin yang terkesan ditutupi pihak Demokrat.
Akhirnya, opsi internal yang muncul dari kasus ini adalah penonaktifan Nazaruddin. Langkah pemecatan ini pun tak sepenuhnya disetujui internal Demokrat. Terbukti, saat konferensi pers putusan Dewan Kehormatan Partai Demokrat tak dihadiri Anas Urbaningrum yang disinyalir menolak putusan tersebut.  Meski begitu, sebagaian pengamat menilai putusan tersebut cukup tepat untuk melerai ketegangan di kubu internal Demokrat yang mulai keruh belakangan ini.
Pada 20 Mei lalu, Pengamat Politik Lembaga Survei Indonesia, Burhanuddin Muhtadi dalam keterangannya kepada inilah.com menilai penonaktifan M Nazaruddin merupakan opsi jalan tengah meredam konflik internal dalam tubuh partai demokrat antara kelompok pembela Nazaruddin yang diasosiasikan dengan patronase Anas Urbaningrum, Ketua Umum Partai Demokrat. Sedangkan kubu Andi Malarangeng, pesaing Anas dalam kongres Bandung, direpresentasikan sebagai kelompok yang terus menyerang Nazaruddin.
Terkait salah kesan eksternal partai, Demokrat dalam kasus ini dianggap apatis sebab tidak menunjukkan itikad kuat untuk memulangkan Nazaruddin ke Indonesia dan hanya mampu membentuk tim besuk Nazaruddin yang akhirnya pulang dengan tangan hampa. Padahal dalam kacamata publik, kesaksian Nazaruddin dalam kasus korupsi Wisma Atlet SEA Games ini sangat penting untuk memperjelas matarantai kasus tersebut sekaligus ikut memudahkan KPK dalam proses pengusutan hingga tuntas.
Politik salah kesan ini secara mendasar mengarah pada pandangan Jean Baudrillard dalam tulisannyaThe Precession of Simulacra yang berefek pada reality by proxy dan solusi imajiner. Perilaku politik yang ditonjolkan Demokrat saat ini, memunculkan persepsi yang cenderung palsu (seolah-olah mewakili kenyataan). Realitas yang dibangun Demokrat membuat kita sulit membedakan antara imajinasi dan fakta sebenarnya.
Reality by proxy dimaksudkan sebagai ketidakmampuan kesadaran dalam membedakan antara realitas dan fantasi. Menyoal Nazaruddin misalkan, publik kembali disuguhkan dengan tingkah lempar tanggung jawab antara Demokrat dan KPK, seakan keduanya enggan bersepakat menyelesaikan kasus tersebut, meski saat ini Nazaruddin resmi menjadi tersangka. Alhasil, langkah prefentif yang dilakukan untuk menyudahi kasus ini, malah memanjang bak sinetron. Balutan intrik politik kian kental dirasakan dalam penggodokan isu tersebut. Mau tak mau, kekisruhan ini juga ikut dimanfaatkan lawan politik untuk terus menggoyang kredibilitas Partai Demokrat.
Selanjutnya, publik pun semakin bingung dengan realitas simbolik yang ditawarkan media melalui kemasan kepentingan yang sulit ditangkap sebagai sebuah kebenaran ataukah simulasi realitas saja. Ini pun dapat disebut sebagai solusi imajiner sebab kehadiran antara realitas dan sesuatu yang bersifat non empiris dihadirkan dalam satu balutan kesan lewat pemberitaan atau publisitas.
Termasuk kasus Nazaruddin, di satu sisi dimanfaatkan lawan sebagai senjata untuk mencederai kredibilitas Demokrat. Di sisi lain, Demokrat sibuk memproteksi image partai agar tak mudah dirobohkan lawan. Hasilnya, anatara Demokrat dan lawan politik, sama-sama membuat simulai realitas yang disuguhkan lewat panggung media.
Realitas politik salah kesan yang tersajikan baik di panggung politik maupun lewat media, kini lambat-laun berpotensi menimbulkan kegaduhan politik di ruang publik. Hasilnya, publik menjadi apatis terhadap penyelenggaraan politik yang begitu sarat intrik (political game). Mungkin, kejumudan politik ini akan lama berlanjut bila sajian realitas politik kita masih terbentur dengan dominasi kepentingan kelompok dan akumulasi kapitalis yang hendak dicapai dari setiap projek politik. Sebaiknya, Demokrat lebih gesit lagi membereskan kasus Nazaruddin agar politik salah kesan ini tak lagi menguap.