Dua bulan belakangan ini, media sosial Kompasiana mulai diperhitungkan oleh media arus utama sebagai media sosial di alam virtual yang telah mampu mengimbangi determinasi informasi di jagat media. Terbukti, telah ada karya para jurnalis warga Kompasiana yang dikutip media arus utama sebagai referensi tambahan, baik itu oleh media dalam lingkup regional maupun media yang berskala nasional.
Dalam konteks ini, sebut saja karya Andi Harianto “Rahasia Dibalik Perjalanan Dinas Legislator“ yang dikutip media online Tribun Timur Makassar, kemudian karya Blindie Lee Indomie “Di-blacklist”, yang dikutip TvOne dan Kompas.com, dan tentu masih ada karya Kompasianer lainnya yang turut dikutip media. Sederet bukti di atas, hanya bagian kecil dari fenomena efek media sosial terhadap dinamika realitas di ruang publik Indonesia.
Eksistensi media sosial yang dirasakan publik dalam dua tahun terakhir ini, dimulai dari berita-berita media arus utama yang cenderung menyertai representasi suara publik virtual dalam menilai sebuah perkara yang tengah terjadi. Fenomena ini tergambarkan dalam aksi “Gerakan Satu Juta Facebookers Dukung Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto” terkait perkara kriminalisasi KPK. Muncul pula gerakan moral lainnya, yakni “Gerakan Dua Juta Facebookers Dukung Penuntasan Kasus Bank Century”.
Dukungan terhadap gerakan-gerakan moral semacam itu, berdampak hebat pada penyatuan suara publik lewat berbagai media sosial. Dalam waktu singkat, suara publik virtual pun makin diperhitungkan sebagai kelompok penekan (pressure group) dan menjadi penimbang atas sebuah realitas yang terjadi. Dapat dikatan, hal ini merupakan wujud dari demokrasi dunia maya atau cyberdemocracy dimana publik virtual bebas mengutarakan pendapat dan menyampaikan kritik sebagai upaya dalam mengimbangi manuver kebijakan kekuasaan.
Media sosial seperti Kompasiana, pada perkembangannya bisa kita temukan berbagai upaya demokratisasi di ruang publik serta kebebasan mengutarakan pendapat. Tercermin dari perilaku publik Kompasiana dalam mereportase peristiwa disekitar mereka, ikut serta memberikan opini terhadap satu persoalan dari ragam perspektif, dan adanya intensitas komunikasi dua arah. Dari sekelumit gambaran itu, saya menempatkan Kompasiana sebagai media sosial paling interaktif, representatif dan ideal sebagai perwakilan suara publik virtual. Mengapa demikian?, ada beberapa alasan, yaitu;
Jurnalisme warga dan intensitas interaksi
Suasana jurnalisme warga atau yang dikenal citizen journalism kental terasa diruang diskusi kompasiana. Setiap menit, banyak tulisan silih berganti mengisi sekian banyak rubrik Kompasiana. Bila kita amati dari segi kecepatan meng-update berita dan informasi, Kompasiana dapat mengungguli media virtual lainnya. Dalam sebuah kesempatan makan bersama di kedai steak Ciputat, Susi Fatimah menceritakan pengalamannya mereportase berita untuk okezone.com. Dalam ceritanya, dia mengaku okezone.com meng-update berita dalam selang waktu 20 menit.
Selain itu, alasan kecepatan juga ditunjang dengan banyaknya para jurnalis warga yang sigap mewartakan pada kita semua fenomena yang terjadi disekitar mereka. Di Kompasiana, setiap jurnalis warga tak hanya disilahkan menulis dan memubliksikan karya mereka tapi juga disarankan menyampaikan fakta dan menghindari sikap plagiarisme.
Sebagai warga Kompasiana, kita dapat mengetahui berbagai peristiwa dan objek wisata di Mesir berdasarkan reportase Kompasianer yang ada di Negeri Piramida itu. Belum lagi, reportase dari Moscow, Turki, Belanda, Italia, Taiwan, Brunai Darussalam, dan masih banyak reportase dari lokasi lain, dimana Kompasianer berada. Di dalam negeri, kita pun mendapatkan aneka reportase Kompasianer.
Ciri khas lain dari jurnalisme warga Kompasiana yakni adanya dinamisasi intensitas interaksi di sana. Setiap kali Kompasianer mempublikasikan tulisannya, maka Kompasianer lain akan mengomentari tulisan tersebut. Banyak yang dibincangkan dalam lapak-lapak tulisan itu, ada yang berguyon, ada yang mengkritisi, dan ada pula yang menyanjung. Artinya, Kompasianer saling melengkapi hasil karya satu dengan lainnya. Karena hal-hal ini, saya merasa betah dan mendapat rumah di komunitas virtual Kompasiana, dimana saya memiliki banyak sahabat dengan berbagai latar belakang.
Kegiatan jurnalisme warga Kompasiana yang sudah berjalan dua tahun ini, tentu tak akan kita dapatkan di media sosial virtual lain. Forum interaksi yang terbentuk di berbagai media sosial virtual, seperti Facebook, Twitter, Hi5, Myspace, Windows Live Space, Friendster, Flicker, Orkut, Flixter, Multiplay dan Netlog, sejatinya jauh dari kesan akan adanya perkembangan jurnalisme warga se-ideal di Kompasiana. Karena kredibilitas jurnalisme warga dan intensitas interaksi yang dinamis itu, rasanya tak berlebihan jika saya menilai Kompasiana sebagai social surveillance atau pengawas sosial.
Saya berani menyebutkan Kompasiana sebagai social surveillance sebab Kompasiana adalah media virtual yang mampu menjadi “mata” dan “telinga” bagi masyarakat umum, terkhusus masyarakat virtual. Hal ini bukan tanpa bukti. Baru-baru ini, tulisan Bunda  Linda dengan judul “Marzuki Alie, Masih Waraskah Anda?“ Berhasil menyita perhatian Marzuki Ali. Hingga pada (12/11) pukul 01.03 dini hari, mucul di headline satu tulisan yang mengejutkan warga Kompasiana yakni “Klarifikasi Surat Terbuka Ibu Linda“ dari Marzuki Alie.
Ketua DPR RI itu mampu dibetot ke ruang publik Kompasiana karena suara virtual yang semakin kuat memprotes ucapan Alie terkait relokasi warga Mentawai. Dalam kasus ini, saya lebih salut pada upaya Bunda Linda yang secara pribadi sudah bersusah payah mengundang Alie ke Kompasiana. Deskripsi upaya Bunda Linda bisa di baca dalam tulisan saya berjudul “Marzuki Alie Menunggu Tanggapan Linda“.
Kini kurang bukti apalagi, sudah cukup bukti-bukti di atas sebagai konsekuensi atas penilaian saya bahwa Kompasiana merupakan representasi ideal media sosial dalam praktik jurnalisme warga dan penyediaan ruang publik virtual. Untuk semua teman-teman Kompasianer, tetaplah menulis, utarakan kerisauan kalian di rumah sehat Kompasiana karena sebentar lagi kita akan menyadari betapa pentingnya menjadi bagian dari media sosial satu ini.
Ruang publik komunitas virtual
Gun Gun Heryanto memberikan istilah ruang publik komunitas virtual sebagai keniscayaan dari cyberdemocracy, dimana interaksi antara masyarakat komunitas virtual dapat membentuk ruang publik kontemporer. Ya, media atau komunitas virtual itu sendiri yang disebut ruang publik kontemporer. Dalam pandangan Jurgen Habermas,  ruang publik (public sphere) merupakan sebuah wilayah yang terbebas dari sensor dan dominasi.
Setelah satu semester bergabung  di rumah sehat Kompasiana, saya menilai apa yang dikatakan Gun Gun dan Habermas tentang ruang publik, sudah terjadi di Kompasiana. Di rumah sehat ini, space yang disediakan untuk interaksi publiknya, sangat terbuka, bebas sensor, dan tanpa dominasi. Kenyataan ini, seperti yang dikatakn OmJay “tiada hari tanpa Kompasiana” dimana interaksi itu sudah sangat lumrah dan dimaklumi warga Kompasiana.
Bila kedua potensi yang saya maksudkan dalam pembahasan ini yakni jurnalisme warga dan demokrasi ruang publik mampu dipertahankan, maka wajar bila media arus utama mulai melirik Kompasiana sebagai representasi ideal suara publik virtual. Kesimpulannya, Kompasiana adalah media sosial sadar publik, mampu menjadi “mata” dan “telinga” masyarakat. Kompasiana pun merupakan sarana edukasi yang tepat, dimana kita tak hanya belajar mereportase namun belajar pula menganalisis realitas yang ada.

Ditulis Jumat, 31 Desember 2010