Nenek Enot dan uang
3,5 juta miliknya. Ilustrasi dari Facebook Miftahul Huda, Kepala Seksi
Penertiban dan Rehabilitasi Sudinsos Jaksel
***********
Belum lama ini, ramai
berita di media arus utama (mainstream media) tentang penertiban para
gelandangan, pengamen, dan pengemis (GEPENG) oleh Suku Dinas Sosial (Sudinsos)
DKI Jakarta. Dalam operasi menjaring Gepeng ini, Sudinsos DKI dikejutkan dengan
jumlah uang yang dimiliki para Gepeng tersebut. Khususnya para pengemis di DKI
Jakarta bisa berpenghasilan 700 ribu per hari. Jika dikalkulasikan dalam
sebulan, penghasilan mereka tentu melebihi rata-rata penghasilan para buruh
pabrik, mahasiswa fresh graduate, atau karyawan biasa yang masih di level
mekanistik.
Tentu, ini persoalan
klasik karena dari tahun ke tahun jumlah Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial (PMKS) alias Gepeng bertambah. Bahkan, di momentum-momentum tertentu,
jumlah mereka bisa naik berkali-kali lipat. Pada 2008 silam, di salah satu
panti sosial di Jakarta mengalami overload lantaran jumlah PMKS/Gepeng terus
meningkat. Biasanya, jumlah PMKS mencapai 400 orang, namun di bulan puasa
meningkat menjadi 900 orang. Bahkan, Mensos Salim Assegaf pada Juli 2013 lalu
mengatakan, jumlah PMKS/Gepeng pada bulan biasa mencapai 1000 orang, namun
meningkat menjadi 6000 orang di bulan puasa.
Terlepas dari data
dan fakta di atas, dalam keseharian, Saya juga seringkali bersinggungan dengan
para PMKS ini, terutama saat berkeliling Jakarta dengan menggunakan
transportasi massal seperti angkot, kereta api, bus, maupun minibus. Semua moda
trasnportasi tersebut, selalu bebas dimasuki para PMKS/Gepeng. Lebih sering,
mereka yang mengamen. Tak hanya itu, terkadang di tepi mall dan kampus pun
sudah disusupi para PMKS ini. Saya jadi berpikir, ini bukan masalah biasa
karena sudah seperti jejaring PMKS yang sengaja ditebar di berbagai titik
penting untuk menggugah rasa kasihan/ empati dan simpati orang lain sebagai
ladang rejeki.
Pada 27 September
pekan kemarin, Kepala Seksi Penertiban dan Rehabilitasi Sudinsos Jaksel
Miftahul Huda mengunggah foto seorang pengemis yang berhasil dijaring Sudinsos
Jaksel di depan Pasar Mampang Prapatan. Pengemis itu punya uang sejumlah
Rp3.500.000 dalam karung yang dia bawa. “Seorang pengemis setelah diamankan
oleh petugas ternyata di tasnya ada uang Rp 3.5oo.ooo. Luar biasa,” tulis Kang
Huda pada bagian keterangan fotonya. Sontak saya terkejut, “Serius, Kang?”
tanya saya di FBnya. “Kalau gak serius ya gak saya posting, Kang,”
jawabnya. Wow, saya cuma bisa geleng kepala, masih tidak percaya dengan
uang sang pengemis. Saya langsung ingat Perda Khusus DKI nomor 8 tahun 2007
tentang Ketertiban Umum, Bab VIII terkait Tertib Sosial, pasal 39-40, yang
membahas larangan menjadi, menyuruh, dan atau memberi pada Gepeng/PMKS.
Terkait perda ini,
sempat di tahun 2008 saya beserta teman-teman di Lembaga Pers Mahasiswa Tabloid
Institute UIN Jakarta mengulasnya dalam liputan khusus (Lipsus), mulai dari
ruang hijau tata kota, tertib lalu lintas, jalur umum, termasuk mengupas tuntas
aplikasi perda ini terkait Gepeng, juga sisi humanis para Gepeng. Saat itu,
saya wawancara beberapa pengemis dan pedagang asongan di Pasar Jumat, Lebak
Bulus, Jaksel. Seorang pedangan asongan, sebut saja AH, mengaku 15 tahun
menjadi pedangan asongan. Dia mampu mencukupi keperluan keluarga di kampungnya,
Tasikmalaya, membangun rumah, dan menyekolahkan anak.
Lantas saya tanya
lagi, kenapa tidak coba profesi lain? “Saya bisanya ini. Keahlian lain tidak
punya. Ini aja resikonya dikejar-kejar Satpol PP, ditendang, sempat dipenjara 1
hari,” akunya. Dalam sehari, dia bisa kantongi 200-300 ribu, tentu jualan dari
pagi sampai malam. Dia juga punya bos yang sudah menyediakan semua keperluan
“mengasong” ini, dan setoran sekitar 70 ribu. Tentu, si bos punya banyak
pekerja asongan. Tetap untung meski setoran hanya kisaran 70 ribu.
Lain dengan seorang
pengamen dan pengemis di dekat kampus UIN Jakarta (Ciputat). Waktu itu saya
cukup rajin memberi si pengamen, terutama pas makan siang di kantin samping
kampus. Ternyata, saat saya hendak sholat Ashar, saya bertemu si pengamen
sedang menyalakan motornya, terlihat baru dan kinclong. Sontak, saya kaget.
“Mas, ngapain di situ?” tanya saya…”Eh, mas. Saya mau pulang dulu,” jawabnya
singkat sambil melempar senyum. “Oh My God,” saya tidak bisa berkata lagi,
terperanga. Kalau si pengemis, saya beri ongkos pulang plus uang saku sedikit
saja karena katanya nyasar dan tak bisa pulang ke Bogor. Esoknya, saya jumpa
dia lagi sedang modus ngemis ke yang lain. Et dah, capek deh, ketipu lagi
saya.hehehe.
Penerapan Perda
Saya punya kesempatan
mewawancarai Budi Rahman Hakim (BRH) yang saat itu menjabat Direktur Perusahaan
Rakyat Merdeka Group. Selain sebagai pemerhati lingkungan dan mendirikan
sekolah berbasis lingkungan di BSD City, dia juga alumni LPM Institute, jadi lebih
muda dapat waktu wawancara ekslusif. Dalam sedan mewah miliknya yang melaju
sepanjang jalan menuju Dinsos DKI Jakarta karena diundang sebagai pembicara,
saya dan seorang kawan bertanya panjang lebar soal lingkungan hijau Jakarta.
Menurut BRH, Jakarta
sudah saatnya meniru beberapa kota maju di dunia seperti Beijing di Cina, dan
beberapa kota besar Australia yang sudah memodifikasi lahan hijau kota lebih
asri dan sangat baik. Dia berharap, Pemda DKI tegas menjaring para Gepeng,
namun disertai pembekalan keterampilan diri dan lapangan usaha agar mereka
tidak kembali ke jalan pascaditangkap. Intinya, memberdayakan para Gepeng,
terutama di sektor ekonomi yang bisa mencukupi kehidupan para Gepeng dan
keluarga kecil mereka. Namun, sampai berakhir masa jabatan Gubernur DKI Jakarta
Fauzi Bowo, Jakarta masih belum berubah.
Pada 2 Oktober
kemarin, saya kirim pesan ke inbox FB Kang Huda untuk bertanya seputar pengemis
bernama Enot yang punya uang 3,5 juta dalam karung. Sebagai Kepala Seksi
Penertiban dan Rehabilitasi Sudinsos Jaksel, tentu Kang Huda tahu betul soal
penjaringan para Gepeng, termasuk nenek Enot yang berusia 71 tahun itu. Nenek
Enot asal Rangkasdengklok, hidup nomaden, dan saat ini sudah diserahkan ke
panti sosial oleh Dinsos DKI Jakarta.
Menurut Kang Huda,
untuk mencegah para Gepeng, masyarakat harus sadar diri untuk tidak mudah
memberi. Hal ini terkait, mental pengemis yang apabila diberi, akan semakin
keasyikan mencari rejeki dengan jalan mengemis. “Kesadaran warga untuk tidak
membeli dan memberi di jalan. Kalau warga gak ngasih ya gak ada pengemis,”
ungkapnya. Lanjutnya, pengamen dan pengemis yang berhasil dijaring akan
diserahkan ke panti sosial yang khusus menangani hal ini, atau dikembalikan
pada pihak keluarga jika para Gepeng masih punya sanak keluarga. “Kalau ada
keluarganya, dikembalikan. Kalau gak ada, ya dibina di panti,” jelas Kang Huda.
Sementara itu,
berdasarkan keterangan Ibu Marwi Mar kepada saya melalui jejaring sosial
Facebook, bahwa para Gepeng yang usia sekolah dikirim ke panti sosial asuhan
anak. Di sekolahkan hingga SLTA dan diberi ketrampilan otomotif, tata busana,
tata boga, dan montor. Lalau bagaimana dengan para lansia? “Kalau lansia ke
panti sosial Tresna Werda, dibina dan dilindungi… all service for lansia
terlantar (sandang, pangan, papan, kesehatan ect ),” jelas Ibu Mar yang juga
bekerja di Pemda DKI ini.
Permasalahan
kesejahteraan sosial di Jakarta memang masih jadi pekerjaan rumah bagi Pemda
DKI dan dinas-dinas terkait. Selain itu, tanpa mengabaikan keingin untuk
berbuat baik pada sesama, kita juga perlu tahu secara strategis menempatkan
bantuan agar tidak salah target kepada para Gepeng (terlebih yang punya
jaringan/ semacam kartel bisnis para Gepeng) karena hal ini bisa mejadi zona
nyaman bagi mereka, dan akan tetap bermental sebagai gelandangan, pengemis dan
pengamen.
Bukan cuma itu,
penertiban para Gepeng pun seharusnya lebih persuasif, agar tidak ada persoalan
traumatik kekerasan atas nama Satpol PP sebagaimana pengakuan para Gepeng.
Penangan pasca penangkapan pun harus baik agar mereka para Gepeng lebih
merasakan kasih sayang sebagimana di rumah, bukan kasih sayang ala jalanan yang
cenderung tanpa pengawasan.
“Dinsos punya 7 panti
sosial untuk menangani anak terlantar dan anak putus sekolah. 5 panti sosial
Tresna Wedha untuk membina dan melindungi lansia terlantar, 4 panti sosial yang
menangani laras terlantar. Yang keseluruhan 27 panti sosial di Dinsos DKI.”
Selain itu, para lansia terlantar yang diketemukan, atau masih punya keluarga,
akan dikembalikan ke pihak keluarga,” tutup Ibu Mar.
Posting Komentar