Belum lama ini, ramai diberitakan seorang dokter berinisial FM disiram kopi panas dan dianiaya oleh pasiennya yang tengah berkonsultasi masalah hubungan suami Istri. Kronologi singkatnya, si pelaku HH menyiram kopi panas ke muka FM lantaran geram dengan FM yang sibuk ngetik di Blackberry Messenger dan tak memperhatikan apa yang diutarakan pasiennya. Tak hanya itu, dokter FM sempat bertanya hal yang membuat pasien HH merasa tersinggung.
Dalam versi lain, karena merasa terintimidasi, dokter FM sengaja menggunakan BB untuk merekam si pelaku yang berusaha mengintimidasi secara verbal, tapi nahasnya FM keburu disiram kopi panas. Insiden ini terjadi di RS Husada, Tamansari, Jakarta Barat (18/11/2013). Kini, pelaku sudah diamankan polisi (Berita disarikan dari berbagai sumber online mainstream).
Sejurus dengan insiden ini, saya juga mau cerita tentang sikap atau perilaku dokter yang kadang membuat pasien tak nyaman, bahkan tak menghormatinya. Belum lama ini, sekitar 17 Oktober lalu saya sakit gejala tipes dan terpaksa izin tak masuk kerja dengan niat ingin periksa kesehatan di rumah sakit atau klinik terdekat.
Awalnya, saya tetap paksakan diri masuk kerja pukul 01.00 dini hari - 09.00 pagi WIB karena memang jadwal kerja saya di bulan Oktober adalah shift pertama. Ternyata, sisitem imun saya menurun dan akhirnya saya sempat muntah-muntah di kantor lantaran demam tinggi, pusing-pusing, keringat dingin, nyeri diperut, mual-mual, susah BAB, dan nafsu makan menurun drastis.
Setelah pulang kantor, saya sempat istirahat dan sorenya saya ke klinik Cirieundeu di bilangan Sandratek, Ciputat. Di sana, saya cek darah dan diperiksa dokter. Hasilnya, dokter bilang “Mas, gejala tipes kamu kambuh lagi. Tolong dijaga pola makannya, dan sempatin olahraga. Bakteri tipes memang begitu, tidak bisa dibabat habis tapi dibuat tidur saja, sehingga suatu waktu bakterinya bisa bangun lagi kalau kita tidak pintar jaga kesehatan.”
Oke, dok. Terimakasih…
Saya tanya, “Dok, katanya mengobati tipes itu paling ampuh pakai cacing tanah, yah?”
Jawab dokter cantik ini, “Kalau itu, saya tidak tahu Mas, saya tidak diajari soal ituOh iya, ini resep obatnya langsung tukar ke apotik aja.” Tak lama, saya sudah ambil obatnya. Beberapa hari kemudian, saya tak jua membaik. Saya putuskan ke RS Fatmawati dengan maksud mendapat pemeriksaan yang lebih baik.
Tiba di RS Fatmawati, saya daftar dan tak lama saya didiagnosa oleh perawat. Setelah itu, saya diantar ke ruang dokter. Tak lama antre, saya dipanggil masuk ruang dokter.
“Sakit apa Mas?” Tanya dokter cantik berinisial SS ini.
“Sakit gejala tipes, kata dokter di klinik waktu berobat 3 hari kemarin,” terang saya. Sebenarnya saya agak heran dengan pertanyaannya karena seharusnya saya ditanya gejalanya sebagai proses diagnosa. Tapi entahlah, jadi saya jawab begitu saja.
“Sakit gejala tipes? Apa yang dirasa?” respon dokter SS.
“Saya meriang, mual, pusing, trus…”
“Ah, sakit biasa kali itu. Paling itu perasaan Mas aja,” potong dokter SS tanpa saya sempat lanjutkan gejala lainnya.
“Hah, sakit biasa? Kata dokter di klinik, saya gejala tipes dan sudah 3 hari konsumsi obat tapi belum membaik,” sangkal saya setengah bingung dengan sikap dokter SS yang seolah-olah meremehkan gejala sakit yang saya rasakan.
“Gak Mas, itu sakit biasa aja. Saya kasih resep obatnya,” katanya sambil menulis resep.
Saya makin heran, agak dongkol karena tanpa diperiksa lebih lanjut tapi langsung dikasih resep obat. Padahal, saya baru saja mau usul untuk dites darah biar lebih valid diperiksa apa benar gejala tipes atau sudah tipes.
Tiba-tiba, perawat yang mendiagnosa saya datang bawa berkas pasien berikutnya.
“Ini dok, ada tambahan pasien,” sambil meletakkan berkas pasien baru di sisi kiri dokter.
“Gila, gak enak banget dinas waktu libur begini, kapan gue liburnya,” ketus si dokter dengan raut wajah kesal karena ada tambahan pasien.
Bisa-bisanya dokter SS ngomong begitu. Padahal, di depannya ada saya sebagai pasiennya. Saya cuma bisa tarik napas dalam saat mendengar perkataan si dokter. Setidaknya, sikap sang dokter membuat saya merasa kena imbas dari mood jeleknya sehingga saya tidak diperiksa maksimal.
“Saya minta surat sakit dok, buat kasih ke kantor,” pinta saya biar bisa lekas keluar dari ruangannya.
“Oke, saya kasih sehari saja,” jawabnya dengan raut wajah yang tak lagi manis. Luntur cantiknya.
Alhasil, sepulang dari RS Fatmawati jam 8 malam, ternyata saya makin sakit dan obat yang dikasih tak berefek sama sekali. Malahan, jam 2 dini hari saya makin lemas, demam makin tinggi, muntah-muntah, dan akhirnya saya diantar teman ke RS UIN Jakarta masuk UGD. Dua katong infus habis sudah, diperiksa, cek darah karena kata dokternya takut ada indikasi ke liver dll sebab selama sakit saya muntah hampir 2x sehari juga nyeri uluhati.
Tiga jam di RS UIN Jakarta, saya dikasih obat dengan biaya 1,5 juta. Saya ditawari inap tapi saya tolak karena keluarga dari Bogor datang jemput, biar dirawat di rumah saja. Alhamdulillah, setelah 2 minggu istirahat, kesehatan mulai membaik. Saya putuskan balik ke Ciputat, ngantor lagi di Palmerah dan berkutat dengan ratusan tulisan warga yang silih berganti di CMS.
Dari pengalaman ini, menurut saya terkadang dokter yang moody bisa membuat citra buruk profesinya karena apapun yang dialami pasien bakal diceritakan ke orang lain. Apesnya, kalau penglaman itu kurang baik maka si dokter juga yang kena imbas. Meski begitu, kita sebagai pasien juga harus sabar bila ada dokter yang gampang ngambek, malas-malasan dan terkesan kurang serius menangani pasien. Biasanya, moody ini lebih gampang dialami dokter-dokter muda yang belum terbiasa dengan rutinitas profesinya atau dengan tekanan profesinya.
Selama pengalaman saya mewawancarai beberapa dokter, baik dokter di RS Fatmawati, RS Siloam sampai dokter yang buka praktik sendiri di klinik pun jarang terjadi hal serupa dengan apa yang saya alami di atas karena para dokter ini juga sudah kenyang makan asam garam profesinya. Rata-rata usia mereka juga sudah menginjak 40 tahun ke atas. Jadi saat wawancara, berasa ngobrol dengan ayah sendiri karena banyak ilmu yang mereka transfer ke saya dan memberi rasa nyaman. Sebagai orang awam dunia kedokteran, tentu sikap dokter seperti itulah yang saya harapkan. Semoga insiden siram kopi dan hal-hal tak sedap lainnya jangan lagi terulang. Dokter dan pasien bisa lebih saling pengertian.
Biar ada hiburan, ini kisah dokter dari Papua, MOP: :)