Perkembangan dunia virtual, kini tak terbatasi lagi (borderless) dan mungkin akan sulit dibatasi. Kemajuan teknologi dunia cyber malah memunculkan banyak media virtual dan ruang ekspresi yang luas bagi setiap warganya. Bahkan, menjadikan ruang virtual (cyber space) ini semakin heterogen dengan multi fenomena yang mengemuka, mulai dari pembentukan komunitas virtual (virtual comunity) lewat jejaring sosial media untuk berbagi kesamaan persepsi atau cara pandang, membangun idiologi, hingga pada tujuan lain semisal pembentukan jejaring kumulasi ekonomi atau relasi bisnis.
Kenyataan ini menjadi penting untuk kita kaji, sebab menyangkut kehidupan para manusia melek media dan teknologi komunikasi, mungkin salah satunya kita. Sebagai contoh, secara pribadi saya merasa termasuk dari bagian komunitas virtual di jejaring sosial. Misalkan, saya memiliki akun facebooktwitter,kompasiana, dan personal blog. Tak hanya itu, saya juga menjadi bagian komunitas yang ada di beberapa virtual mainstream media seperti kompas.com, vivanews.com, liputan6.com, dan detik.com.
Semua hal terkait keikutsertaan saya dalam kelompok-kelompok tersebut, membuat saya akan bersentuhan langsung dengan warga lainnya yang pada akhirnya kita membangun sebuah relasi pertemanan di sana. Mungkin juga anda, minimal dengan memilik akun faceebok dan twitter, anda sudah bisa memiliki banyak teman, relasi bisnis, bahkan menemukan sebongkah cinta di sana.
Teknologi internet telah mensimulasikan kehidupan nyata kita dalam sebuah box kecil. Tapi, tak sedikit pula di antara kita yang meragukan eksistensi dari keberadaan internet yang sudah mengadopsi sistem sosial kita ke dalam dunia virtual. Pertanyaannya, ilusif atau nyatakah sebuah relasi yang dibangun di alam virtual?
New Public Sphere
Marshall McLuhan dalam bukunya The Gutenberg Galaxy: The Making of Typographic Man (1962) and Understanding Media (1964) memopulerkan istilah “The global village” dengan penjelasan bahwa teknologi elektronik telah mampu mensirkulasikan informasi ke seluruh dunia dalam waktu bersamaan kepada sistem sosial dan politik yang ada. Bahkan, McLuhan menegaskan bahwa internet merupakan bagian “perpanjangan dari kesadaran.”
Istilah the global village menjadi searah dengan pembahasan kita, sebab hanya lewat box kecil yang bernama komputer dengan dukungan teknologi internet, dunia sudah dihimpun di dalamnya. Bukan hanya informasi namun semua tentang kehidupan kita ikut ditransformasikan ke dalamnya. Misalkan, selain identitas yang kita cantumkan dalam beberapa jejaring sosial yang kita ikuti, di sana juga kita sisipkan emosional yang cukup untuk mengimbangi kehidupan kita.
Status yang kita bentuk dari jejaring sosial semisal facebook dan Twitter, secara sadar akan menuntun kita berinteraksi dengan rekan lainnya. Dari sana, kita menjalin kesamaan persepsi dan akhirnya membentuk saling pengertian dan kompromi-kompromi. Kenyataan ini perlu kita sadari sebagai sebuah proses interaksi yang terjadi layaknya di dunia nyata sebab di alam virtual juga tersedia ruang publik, dimana setiap masyarakat virtual saling berinteraksi.
Konsep ruang publik (public sphere), awalnya dipopulerkan oleh Jurgen Habermas dalam esainya yang berjudul The Structural Transformation of The Public Sphere. Dalam esai itu, Habermas memaknai ruang publik sebagai wilayah yang bebas dari sensor dan dominasi, dimana di dalamnya terdapat interaksi sosial secara terbuka dan relatif bebas.
Seiring perkembangan konsep ini, muncul Mark Poster dengan Cyberdemocracy: Internet and the Public Sphere (1995) mengatakan bahwa konsep public sphere Habermas sebagai ruang homogen dimana subyeknya mempunyai relasi simetrikal, kini terabaikan dalam arena publik elektronik. Berbagai komunitas virtual seperti terdapat pada electronic cafesbulletin boardmilistblog, forum interaksi web personalsocial media, telah menjelma menjadi harapan baru ketersediaan ruang publik yang dapat menyediakan situasi komunikasi tanpa dominasi. (Gun Gun: Komunikasi Politik di Era Industri Citra, 2010).
Dari pemikiran Habemas dan Poster, kita dapat menarik kesimpulan bahwa proses interaksi di komunitas-komunitas virtual bukan lagi sebuah ilusi melainkan sebuah kenyataan dari keniscayaan perkembangan teknologi komunikasi dan kecanggihan internet. Proses komunikasi kita hanya mengalami peralihan ruang dari lingkungan sosial kita sehari-hari menuju lingkungan sosial virtual. Persoalannya, ada pada bagaimana cara kita menyikapi semua problem komunikasi yang ada. Jika kita memulainya dengan baik, maka kita akan menuai kebaikan dari komunikasi yang kita bangun.
Zona Proksemik
Setelah menyadari ruang publik baru (new public sphere), kita kemudian dihadapkan pada risiko dari interaksi itu sendiri. Banyak masalah mencuat saat muncul pengaduan dari berbagai kalangan tentang tindak kekerasan yang terjadi di dunia virtual (cyber crime). Tapi, balik lagi pada konsep awal bahwa bila teknologi internet telah berhasil mentransformasikan kehidupan kita dalam sebuah box, maka barang tentu kejahatan pun ikut nyemplung ke dalamnya.
Meski begitu, harus kita akui kecanggihan internet telah membuat komunitas- komunitas nyata, beralih ruang komunikasi dalam bentuk komunitas virtual. Gun Gun Heryanto dalam tulisannya Ruang Publik Komunitas Virtual (2010) mengulas bahwa komunitas virtual itu tak lagi terbatasi oleh keterpisahan tempat, waktu, idiologi, status sosial ekonomi, maupun pendidikan.
Dia juga membahas zona proksemik seperti digagas Edward Hall, yang membagi antara jarak intim (0-18 inci/46 cm), jarak personal (46 cm- 1,2 m), jarak sosial (1,2 m- 3,6 m), jarak publik (melampaui 3,7 m). Dengan adanya FacebookKompasiana, dan jejaring lainnya, nampak bahwa komunikasi tak lagi berjarak fisik seperti yang digagas Hall. Melalui komunitas virtual, setiap anggota bebas mengeskpresikan diri, baik kekesalannya atau rasa bahagianya.
Saya menyontohkan aktifitas komunikasi di Kompasiana. Meski banyak Kompasianer yang tak pernah bertemu tatap muka (face to face), atmosfer komunikasi yang dirasakan dalam rumah sehat itu begitu intim. Ada tawa, ada canda, ada bahagia, ada duka, ada kritik, hujatan dan sebagainya tertumpah di Kompasiana. Artinya, kehadiran kita di alam virtual bukan lagi suatu ilusi namun sebuah kenyataan yang belum kita sadari sepenuhnya.
Akhirnya, apa pun bentuk hubungan yang terjalin di alam virtual, haruslah disikapi secara baik, dan tetaplah waspada terhadap aneka bentuk kejahatan yang mungkin juga menguntit kita di jagad virtual