shutterstock.com |
Perempuan tua itu
menghadap pantai, menyapu pandangan pada sekumpulan ombak yang berlomba ke
arahnya. Ia masih duduk membelakangi kawanan kamboja dan aku melewatinya. Lagi,
ia masih bergeming. Nampak seperti ia menanti kenangan. Tiga kali sudah, saat
keringat mulai melewati parit-parit kecil di wajahku dan dada yang mulai hosa
memompa udara, aku beranikan diri menyapanya sembari mengatur istirahat.
"Sepagi dini,
nenek kenapa di sini?"
"Berdialog dengan angin," jawabnya tanpa menoleh ke arahku.
"Masih dingin,
nek. Angin pasti mengoyak keriputmu."
"Ah, anak muda,
merasa tau segala ihwal. Kamu hanya melihat sejauh matamu, seperti para
birokrat myopia."
"Aku merasa
terhibur di sini. Kesunyian yang ramai. Tak seperti sepi dalam keramaian
manusia mekanis di jantung pulau ini." Ia menyambung kalimat yang seakan
terputus tadi, tanpa membiarkanku menyuguh balasan.
"Siapa yang
menghiburmu?"
"Dia, lelaki
itu." Ditunjuknya sebongkah karang yang dihantam ombak bertubi-tubi.
Kuperhatikan, ia
seakan berbincang dengan masa lalu. Pasti teramat indah, sampai ia terburu-buru
ke pantai ini dengan berkebaya lusuh sebelum matahari menunjukkan kuasanya. Aku
tak abis pikir, sepahit itu kah kenangan bila ia tinggalkan? Siapa lelaki
misterius di karang sana? Tak tega rasanya, melihat tubuh tua itu melawan
dingin dan embun yang basah, hanya untuk duduk di sini. Letih pun hilang, ku
hela napas perlahan dan dalam sekedar memberi jeda pada obrolan kami.
"Nak, saat bulan
purna berpayung pelangi, aku dan segerombolan anak kura-kura bermain di sini.
Kami melawan beberapa burung jagal yang mau mematuk telur saudara mereka.
Sesekali ku tutup rapat lubang-lubang yang digali sang induk untuk mengeram
telurnya dengan rumput dan sedikit pasir. Lalu, lelaki itu datang membawa
sebagian lain untuk dilepas ke laut."
Aku hidmat, mendengar
ia melanjutkan cerita meski pun aku tak tau dari mana datangnya. Yang aku tahu,
perempuan tua ini lebih dulu tiba di tubir pantai saat aku datang.
"Bulan pake
payung, teteruga batalor..." Suara paraunya melantunkan lagu klasik kala
aku masih 10 tahun. Lagu yang mengabarkan aktivitas kura-kura betina
menghabiskan masa betelurnya di pesisir pantai saat bulan purnama.
Hmmm, perempuan tua
itu seakan tau lagu kesukaanku tempo dulu. Sepertinya ia sedang menebak masa
kecilku, dimana aku bermain di pinggir pantai saat bulan bundar sepenuhnya
berhias pelangi, dan butiran pasir putih yang terlihat bak pecahan kaca
memantulkan cahaya.
Aku menatapnya lekat-lekat. Pilu bagiku membaca kenangan di mata perempuan tua itu, begitu penuh, sesak, dan belum lapuk meski uzur merenggut usianya. Aku seakan diajarkan bertelanjang dengan masa lalu. Diajarkan jujur pada kenyataan, tentang apa saja, tentang rindu.
"Aku masih muda belia, waktu itu. Sama seperti gadis lain yang sedang mekar. Banyak lelaki menyuguhkan budi, menampakkan sisi maskulin, memburu bak kumbang menghisap habis saripati. Tapi lelaki itu, lain. Sangat lain." Kisahnya sambil mengarahkan telunjuk ke karang yang sama.
“Ah... mungkin dimasa
mudanya, jakun para lelaki sulit menari. Bahkan, mereka banyak meminum liur
sendiri lebih dari kebutuhan delapan gelas seharian. Nampak gurat keriputnya
masih menyisakan kecantikan parasnya bertahun silam…”
"Dia memfilsafatiku." Sedak tangisnya membongkar lamunanku. Duh, iIngin sekali kupungut air matanya biar tak berserakan. Tapi, lelaki juru kunci di belakang perempuan tua itu teriak mengagetkan.
"Jangan lama-lama di situ. Sudah bertahun lapuk dia menatap karang dan membelakangi ratusan kuburan di sini, menunggu ajal bersama kenangannya."
Iya, sudah waktunya aku pulang. Matahari nampak merayap naik dengan cepat. Aku terpaksa meninggalkan perempuan tua itu, yang sayup-sayup sempat ku dengar ia merapal; "Amin", menimpali lelaki tadi. (SR)
Posting Komentar