Gambar diadopsi dari mediamu.id |
Tuhan,
Tinggallah di Rumahku!
Aku dengar dari kabar
berita
Tuhan telah diusir dari rumahNya
Tempat manusia merapal doa
Tuhan telah diusir dari rumahNya
Tempat manusia merapal doa
Aku dengar dari kabar
berita
Tuhan dimintai surat izin menetap
Supaya tak sembarang tinggal di rumah ibadah
Tuhan dimintai surat izin menetap
Supaya tak sembarang tinggal di rumah ibadah
Aku dengar dari kabar
berita
Tuhan dipaksa berpolitik praksis
Tak menerima jenazah beda pilihan
Tuhan dipaksa berpolitik praksis
Tak menerima jenazah beda pilihan
Aku dengar dari kabar
berita
Tuhan disekap dalam rumah ibadah
Bernegosiasi tuk kepentingan duniawi
Tuhan disekap dalam rumah ibadah
Bernegosiasi tuk kepentingan duniawi
Aku dengar dari kabar
berita
Rumah-rumah ibadah kian selektif
Menerima kehadirat Tuhan
Rumah-rumah ibadah kian selektif
Menerima kehadirat Tuhan
Kalaulah begitu adanya
Tuhan, tinggallah saja di rumahku
Tuhan, tinggallah saja di rumahku
(Shulhan Rumaru, Ciputat,
25 Maret 2017)
*******
Temperatur politik yang
memanas dan memanggang kewarasan kita belakangan ini, memberi saya sedikit
asupan nutrisi kritis sekaligus puitis. Jadilah puisi sederhana ini sebagai
perwakilan singkat dari ketidakmengertian saya akan sikap politik yang jauh
dari nilai-nilai asketisme politik. Diskursus yang dibangun para politisi di
media, nampaknya jauh dari kesan mencerdaskan dan mencerahkan, bahkan tak sedikit
dari kita terfragmentasi ke dalam kantung-kantung pemilih yang kental friksi
sosialnya.
Kini, rasionalisasi
dukungan politik dibuat seaktual mungkin untuk mengendalikan nalar publik. Herbert
Marcus menyebut realitas semacam ini sebagai "rasionalitas teknologis",
atau dalam pandangan Max Horkheimer disebut "rasio intsrumental".
Maksudnya, elit politik gencar merasionalisasikan kerja dan interaksi mereka
supaya diterima publik dengan kesan seolah-olah tanpa paksaan. Contoh paling
aktual saat ini, ya, melalui pendekatan legitimasi agama. Dalam strategi
komunikasi politik disebut sebagai strategi sosial tradisional.
Sebenarnya, tak ada yang
salah dari strategi sosial tradisional, namun cara menjalankannya tergelincir
dari rasa kritis dan berorientasi teramat transaksional. Para politisi
berkepentingan kerap merapat ke pemuka agama demi dukungan politik. Benar-benar
hanya demi akumulasi elektoral semata. Lantas, di lain sisi mengabaikan
soliditas sosial yang lambat laun terkoyak.
Mari belajar dari
kisruhnya Pilkada Jakarta tempo lalu, dimana mesin-mesin politik tak lagi malu
memasang spanduk-spanduk penolakan penyolatan jenazah beda pilihan politik,
pengusiran jamaah sholat beda rumah politik, dan dalil-dalil agama yang
ditafsirkan searah kepentingan elektoral semisal Almaidah 51. Kenapa begitu.
Kalau ada yang bilang,
penolakan salah satu cagub DKI murni perintah agama dan bukan urusan politik,
maka seharusnya konsisten. Tapi buktinya, inkonsistensi logislah yang terjadi,
menolak di DKI tapi mendukung nonmislim di gelanggang politik lainnya. Sebab
itu, saya bersikukuh bahwa penolakan terhadap calon nomuslim, narasinya lebih
dekat pada kepentingan politik, ketimbang urusan agama. Narasinya jelas, kita
bisa merunut dari Risalah Istiqlal hingga kejadian penyebaran
video pidato yang diedit dan demonstrasi berlabel angka-angka keramat.
Saya utarakan ini, bukan
lantaran saya dulu memilih salah satu cagub dan menolak cagub lainnya, bukan
sama sekali. Saya hanya membela kewarasan berpolitik yang tak cuma berjubah
agama namun nihil konteks keagamaannya. Jangan lagi berasumsi bahwa
ajaran-ajaran agama yang dimasukkan secara tekstual dalam aturan dan praktik
politik (atau mengganti sistem pemerintahan berbasis agama), itu akan
memperbaiki situasi politik. Justru yang terjadi, semakin mencuat egosentris
antarpemeluk agama. Pemahaman terhadap dalil-dalil agama yang keluar dari
konteks politik dan situasi faktualnya, pada akhirnya tak menemukan jalan
keluar.
Sebagai jalan tengah,
tawaran "asketisme politik" nampak lebih rasional untuk kondisi
politik saat ini, terutama menyongsong pilpres 2019 mendatang. Weber dalam
bukunya The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism (1930),
menjelaskan konsep asketisme politik sebagai upaya menjalankan aktivitas
berpolitik berdasarkan prinsip kesederhanaan dan etika serta memproyeksikan
tindakan demi kemaslahatan rakyat banyak.
Kita juga tentu mengenal
istilah zuhud dalam khazanah sufisme, yang dalam term politik
dimaknai sebagai sikap eskapisme atau mengalienasi diri dari
syahwat politik, latihan hidup sederhana dan bersahaja. Asketisme politik lebih
diarahkan untuk meningkatkan kesalehan berpolitik, baik di tingkat pribadi
maupun institusional.
Kalau sudah begini,
kontestasi politik tidak lagi mengandalkan agitasi bermodal dalil-dalil agama
yang kontroversial atau multitafsir, melainkan lebih pada pertarungan politik
di level substansi, yakni beradu visi-misi kepemimpinan dan program-program
pembangunan pro rakyat. (Shulhan Rumaru)
Posting Komentar