Perkembangan dunia blogging
di era serba gadget ini, lebih dari
sekedar jamur di musim penghujan. Setiap orang dimungkinkan mengabarkan apa saja,
mulai hal terpenting sampai yang remeh-temeh. Karena banyak orang lakukan hal
serupa, maka kita harus #Beranilebih dari itu.
Dengan motivasi berbagi, di awal 2010, saya mulai membuat
blog. Hasilnya, hanya bertahan sebulan, blog itu saya biarkan karam. Selain
tamplate yang gak kece dan miskin
konten, saya juga bingung mengelolanya. Tak lama menjeda, Saya mulai nimbrung ngeblog bareng teman-teman di salah satu
portal citizen journalism kala itu. Ndilalahnya, tulisan saya beberapa kali
diganjar headline bersanding dengan
para bloger kawakan. Saya pun jingkrak-jingkrakan bahagia, menemukan semangat
baru, dan semakin keranjingan menulis.
Dari sana, saya mulai bermimpi menelurkan satu buku. Belum
lagi niat itu terlaksana, Tuhan punya rencana lain yang lebih terstruktur dan
sistematis. Tiba-tiba, seorang teman blogger meminta saya mengeditori novelnya.
Dari situ, tawaran mengeditori buku, pun berdatangan. Akhirnya, niat menerbitkan
buku menemui takdirnya. Skripsi saya terkait marketing politik, dipinang seorang doktor komunikasi politik untuk
diterbitkan.
Buku saya: Komunikasi Politik Sebuah Pengantar yang nangkring di toko buku. |
Tak berujung di situ, saya pun nekat mendirikan penerbit indi
untuk gerakan sosial melek pendidikan. Saya memulai itu dengan projek Hibah 1500
Eksemplar Buku untuk pesantren-pesantren. Bermodal aktivitas ngeblog, saya meminta beberapa santri bloger
untuk menuliskan kisah-kisah inspiraif mereka terkait pendidikan, tapi dengan catatan
tidak dibayar alias pakai prinsip Depag “Ikhlas Beramal”. Satu-satunya royalti
mereka adalah satu eksemplar bukti terbit. Alhamdulillah, semua bersedia.
Namun, masalah muncul, belum ada anggaran percetakan. Setelah
wara-wiri cari donatur, ternyata saya selalu ditolak, dan tak sedikit yang
sanksi gerakan ini. Padahal, naskah kadung diedit, sudah tahapan layout, cover
sudah jadi, ISBN pun sudah punya. Masak iya, gagal? Seorang kawan menyarankan
agar buku itu dijual dengan konsep bagi hasil, jadi sumbangan ke pesantren
dialihkan dalam bentuk uang. Katanya, konsep ini bisa dipakai merayu donatur.
Syukur, ada donatur yang bersedia. Saya bentuklah relawan marketing. Pascaterbit, tim pemasaran yang saya bentuk tiba-tiba
pincang lantaran mereka sibuk bekerja. Saya mencoba membujuk supaya mereka mau
melakukan pemasaran, tapi kenyataan berkata lain, tim itu akhirnya beku total.
Sisa saya seorang diri. Di depan sudah ada tagihan
pengembalian modal si donatur. Saya diminta mengembalikan sekaligus modal yang
belasan juta itu, dalihnya takut rugi karena tim marketing mandeg. Posisi saya kian terjepit, adangan-adangan itu
membuat semangat saya tinggal remah-remah saja. Saya coba bernegosiasi, menyicilnya selama 6 bulan dengan nominal
sekian. Negosiasi yang alot itu akhirnya dikabulkan. Besoknya, saya pindah
kosan ke yang lebih murah meriah, fasilitas seadanya, tapi air buat mandi cukup
bagus. :D. Thank God seems better, but
it sounds a bit like lucky.
Apakah saya tamat? No…no…no…! Saya malah #BeraniLebih maju
lagi. Semakin bersemangat menyambangi sekolah membagi-bagi buku. Selain di Ciamis, saya membagikan
buku-buku itu hingga ke beberapa sekolah dasar dan pesantren di pelosok Maluku.
So, #BeraniLebih berbagi? Siapa
takut!
Buku Kumcer yang akhirnya dibagi-bagi gratis ke sekolah dan pesantren |
Memberi endorsement dalam buku ini |
Sebagai editor |
Facebook: Shulhan Rumaru
Twitter: @shulhanrmr
Google+: K. Arant
komentar perdanaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!
BalasHapussalut euy sama om admin yang satu ini
rajin bener :)
wkwkwkw Gak ada kerjaan Om, makanya ikutan lomba.hahaha :)
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus